Selasa, 05 Juli 2022

Keberadaan Feminis, Pentingkah?


Dok. Internet


Oleh: Ajeng Kartika Saraswati


Permasalahan gender terutama posisi perempuan dalam hierarki sosial bukanlah topik yang baru baru saja muncul. Pertanyaan tentang siapakah yang diuntungkan atau dirugikan dari sistem sosial beriklim patriarki akan terus ada di masyarakat. Untuk menjawab permasalahan ini secara objektif seseorang harus memiliki standpoint  atau sudut pandang yang objektif juga.

Lantas bagaimanakah cara memperoleh sudut pandang yang objektif? Dalam buku A First Look to Communication milik E.M. Griffin, Sandra Harding dan Julia Wood menyatakan bahwa salah satu cara terbaik untuk mengetahui cara dunia bekerja adalah dengan memulai pengamatan dari sudut pandang kelompok marginal dan dalam hal ini adalah perempuan. Harding juga menyatakan bahwa perspektif kelompok yang lemah (tidak memiliki kekuasaan besar) mampu memberikan pandangan yang lebih objektif daripada perspektif kelompok yang berkuasa. Kelompok lemah yang dimaksud oleh Harding dalam pernyataannya adalah para perempuan yang termarginalkan.

Perkembangan Teori Sudut Pandang menjadi Teori Sudut Pandang Feminis

Teori Sudut Pandang awalnya berasal dari jurnal seorang filsuf Jerman, Georg Hegel, pada 1807. Kemudian teori ini berkembang menjadi Teori Sudut Pandang Feminis atau Feminist Standpoint Theory (FST). Mulanya Hegel mendiskusikan bagaimana hubungan majikan-budak menimbulkan sudut pandang berbeda dari tiap pihak. Walaupun majikan dan budak hidup dalam lingkungan masyarakat yang sama tetapi pengetahuan mereka mengenai masyarakat sangat berbeda disebabkan oleh posisi yang mereka tempati dalam masyarakat. Karl Marx dan Friedrich Engels berpikiran sama dengan Hegel namun merujuk pada sudut pandang proletar bahwa posisi seorang pekerja akan menentukan akses pengetahuannya.

Nancy Hartsock kemudian mengadaptasi konsep Hegel dan teori Marxis untuk menganalisis hubungan antara perempuan dan laki laki yang merupakan cikal bakal FST. Harstock berniat membuat perempuan hadir dalam teori Marx (yang Harstock anggap terlalu lelaki sentris). Ia menggunakan anggapan Marx bahwa gambaran paling benar mengenai kelas sosial hanya ada pada salah satu dari dua kelompok kelas sosial dalam masyarakat. Menurut Harstock kritik Marx terhadap kelas sosial lebih banyak membantu para feminis ketimbang kritik Marx terhadap kapitalisme. Dalam FST Harstock mengaplikasikan konsep majikan-budak milik Hegel serta gagasan Marx tentang kelas dan kapitalisme pada permasalahan sex dan gender. Dengan menggantikan proletar dengan perempuan dan perjuangan kelas dengan diskriminasi gender, para teoris FST telah memiliki gambaran untuk mengadvokasi para perempuan.

Konsep Teori Sudut Pandang Feminis

Dalam buku Introducing Communication Theory (West & Turner), FST bertumpu pada empat konsep utama yaitu :

1. Voice (pendapat) : pendapat memiliki suatu makna tentang identitas. Menyuarakan pendapat dalam FST penting untuk menunjukkan kepada masyarakat siapa penganut teori ini dan apa tujuan dari teori ini.

2. Standpoint (sikap) : sikap atau standpoint merupakan konsep utama teori ini. Diperoleh melalui pengalaman, pemikiran, interkasi, dan usaha dalam hierarki sosial.

3. Situated knowledge (pengetahuan tersituasi) : merupakan pengetahuan seseorang berdasarkan konteks dan keadaan. Seseorang mempunyai banyak pengetahuan bukan dari pembawaan alamiah tetapi karena adanya pembelajaran dan pengalaman.

4. Sexual division of labor (pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin) : pandangan dimana perempuan hanya dipekerjakan sebagai pekerja domestic dan mengeksploitasi perempuan dengan memberikan upah yang tidak sebanding dengan pekerjaanya. Hal ini memunjulkan pangangan ketidak setaraan gender yang menjadi salah satu landasan dari FST.

Julia T. Wood dalam buku Encylopedia of Communication Theory (Littlejohn & Foss : 2009) mengungkapkan fokus dari FST adalah mengidentifikasi nilai nilai budaya dalam dinamika kekuasaan yang menyebabkan subordinasi perempuan serta menggarisbawahi pandangan berbeda terhadap aktivitas yang biasanya dibebankan kepada perempuan (pekerjaan domestik dan pengasuhan). FST menjelaskan mengapa perempuan ditugaskan untuk melakukan kegiatan tersebut dan mengapa aktivitas tersebut kurang dihargai dibandingkan tugas yang identik dilakukan laki laki. FST menyadari bahwa kondisi tersebut bukanlah hal yang terjadi secara alamiah tetapi merupakan hasil dari tekanan sosial politik. Keterampilan perempuan dalam pekerjaan domestik dan mengasuh bukanlah hasil dari insting maternal, namun merupakan fakta bahwa perempuan jauh lebih banyak ditugaskan dalam peran pengasuhan daripada laki laki.

Sama seperti Harstock yang mengadaptasi FST dari paham Marx tentang struktur kelas, Wood juga mengatakan asumsi awal FST adalah masyarakat terbentuk dari relasi kekuasaan yang menghasilkan kondisi sosial yang tidak adil, satu sisi merupakan kelompok dominan dan satu lainnya adalah kelompok marginal. Beberapa teoris FST menegaskan bahwa gambaran sosial yang berasal dari kelompok marginal lebih lengkap daripada kelompok dominan. Mereka percaya bahwa kelompok marginal cenderung memahami perspektif kedua kelompok (marginal dan dominan). Sedangkan kelompok dominan cenderung tidak memahami atau tidak memiliki motif untuk memahami perspektif kelompok marginal.

Mengapa perempuan merasa termarginalisasi dalam kehidupan sosial?

Dalam FST perempuan diposisikan sebagai kelompok marginal sedangkan laki laki sebagai kelompok dominan. Apa yang menyebabkan kondisi ini? Menurut Burton & Kagan (2004: 315) orang yang termarginalisasi cenderung memiliki sedikit kontrol atas hidup mereka dan sedikit akses pada sumber daya yang tersedia sehingga kesulitan dalam mendapatkan penghasilan. Bhasin (1996: 5-10) menyebutkan terdapat lima bidang dalam kehidupan perempuan yang umumnya dikontrol oleh laki laki dalam kehidupan masyarakat patriarki :

1. Kontrol atas daya produktif terhadap tenaga kerja perempuan.

Berdasarkan situasi ekonomi perempuan sebagai pemilik daya produktif Jackson dan Jones (2008: 26) mengamati daya produktif perempuan melalui dua hal. Pertama, posisi perempuan dalam pekerjaan domestic yang tidak berbayar. Kedua, posisi perempuan di pasar kerja yang berbayar.

Kontrol atas daya produktivitas perempuan dapat terjadi di dalam maupun diluar rumah. Dalam pekerjaan rumah, perempuan melakukan kerja berulang tanpa akhir yang melelahkan seperti mencuci piring, menyapu, menyetrika baju, dll. Hal ini menuntut perempuan untuk memberikan pelayanan kepada anggota keluarganya selama ia masih hidup. Walby (dalam Bhasin, 1996) menyebut kegiatan tersebut sebbagai “mode produksi patriarkal” dimana perempuan sebagai penghasil layanan sementara laki laki sebagai penerima layanan.

Sedangkan daya produktivitas perempuan di luar rumah kerap dianggap hanya sebagai pencari nafkah tambahan. Dalam sektor indusri buruh perempuan mengalami diskriminasi akibat upah yang diterima lebih kecil dari upah buruh laki laki. Hal ini tidak terlepas dari anggapan bahwa perempuan hanya membantu suami dalam mencari nafkah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dalam portal media online tirto.id, hingga Februari 2019 lalu rata rata upah buruh laki laki Indonesia sebesar Rp3,5 juta rupiah. Sedangkan upah buruh perempuan sebesar Rp2,3 juta rupiah. Data tersebut menjadi salah satu bukti konkrit adanya kontrol atas daya produktif terhadap tenaga kerja perempuan.

2. Kontrol atas reproduksi perempuan

Kondrat perempuan memang mengandung dan melahirkan. Namun kemudian kontrol sosial membebankan fungsi pengasuhan lebih banyak kepada perempuan. Bhasin (1996) mengatakan bahwa pada sebagian masyarakat, perempuan tidak punya kebebasan untuk memutuskan berapa anak yang ingin dimiliki.

3. Kontrol atas seksualitas perempuan

Diwujudkan dalam kewajiban perempuan untuk memberikan pelayanan seksual kepada laki laki sesuai dengan kebutuhan dan keinginan laki laki. Sebagian besar budaya patriarki mendefinisikan perempuan sebagai objek seksual untuk kenikmatan laki laki. Mac Kinnon (dalam Jackson & Jones, 2008) menyebutkan bahwa seksualitas bagi feminism sama seperti kerja bagi marxisme.

Banyak kasus di masyarakat seorang suami memaksa istrinya berhubungan badan dan ketika istrinya menolak, suami akan melakukan kekerasan fisik. Tak hanya suami kepada istri, namun juga ada kasus dimana ayah menyetubuhi anak perempuannya.

Beradasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Indonesia (dimuat dalam Tempo.co) menyatakan sepanjang tahun 2019 terjadi 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus yang paling banyak terjadi adalah kasus inses ditambah kekerasan seksual sebanyak 571 kasus. Data tersebut menunjukkan bahwa perempuan masih dilihat sebagai objek pemuas nafsu laki laki dan kurang memiliki kontrol atas seksualitasnya sendiri

4. Kontrol atas gerak perempuan

Pembatasan gerak perempuan bertujuan mengendalikan produktivitas, reproduksi, dan seksualitas perempuan. Dilakukan dengan praktek pemisahan bidang privat dan publik bagi perempuan, larangan perempuan keluar rumah pada waktu tertentu, dan lain lain. Menurut Walby (1990) pengontrolan atau aturan tertentu terhadap perempuan berkontribusi melemahkan kesempatan perempuan dalam mengakes atau mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Contohnya pada saat zaman penjajahan, perempuan dilarang mengenyam bangku pendidikan. Hal ini menyebabkan perempuan dianggap statusnya lebih rendah karena tidak berpendidikan.

5. Kontrol atas harta milik dan sumber daya ekonomi

Walaupun perempuan memiliki akses terhadap harta milik dan sumber daya ekonomi, namun dibatasi oleh tekanan, sanksi sosial, bahkan aturan agama untuk memperoleh jumlah yang setara dengan laki lali. Digambarkan oleh statistik yang dibuat oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) bahwa perempuan mengerjakan lebih dari 60% jam kerja di seluruh dunia, tetapi mereka hanya mendapatkan 10% dari penghasilan dunia dan memiliki 1% dari harta kekayaan dunia (Adipoetra, 2016).

Dari contoh contoh di atas pada bidang kehidupan perempuan yang dikontrol oleh laki laki cukup menggambarkan bagamana ruang gerak perempuan dalam masyarakat cenderung terbatas. Hal ini mengakibatkan perempuan merasa termarginalkan karena diskriminasi dan ketidaksetaraan gender yang dialami.

Pentingnya Feminisme dalam Masyarakat

Mengacu pada konsep FST, pandangan tentang masyarakat paling objektif dilihat dari sudut pandang kelompok marginal. Dalam hal ini adalah perempuan. Maka dari itu dalam memandang dan menyelesaikan permasalahan terkait gender akan lebih objektif apabila dilihat dari sudut pandang perempuan. Feminisme memberi dorongan bagi munculnya gerakan sosial yang merupakan perkembangan dari rasa cemas dan keinginan individu yang menghendaki perubahan. Kecemasan yang muncul akibat kesadaran akan posisi perempuan yang rendah dalam masyarakat dan keinginan untuk memperbaiki akan mengubah keadaan yang ada di masyarakat (Umar, 2005). Dapat disimpulkan bahwa kehadiran feminis dan paham feminisme yang sejalan dengan FST sangat diperlukan di dalam masyarakat.



SHARE THIS

0 Comments: