Selasa, 06 Februari 2018

Belajar Teori Caci Maki

Judul : Karnaval Caci Maki | Penulis : Prima Sulistya W., dkk | Penerbit : EKSPRESI Buku | Cetakan : Pertama, Januari 2012 | Halaman : 278 halaman | ISBN : 978-979-99631-5-4
(Dok. Internet)

Oleh : Eko Hari Setyaji

“Asu, Munyuk, Bajingan, Bajigur, fuck, shit

Mungkin kata-kata semacam itu akrab di telinga kita. Semacam bentuk ungkapan perasaan yang terucap secara spontan maupun terstruktur untuk menanggapi suatu keaadaan yang dialami. Maki-makian atau dalam bahasa Jawa disebut misuh, kerap dilontarkan di sekitar saya, tak terkecuali saya lakukan sendiri dengan sesuai konteks keadaan.
Agaknya kegiatan mencaci maki atau misuh telah mengakar jauh di bumi yang kita huni ini. Dalam cerita pewayangan Jawa, ada tokoh bernama Sisupala yang merupakan sepupu dari Kresna. Sisupala dendam terhadap Kresna karena calon istrinya, Rukmini, dilarikan Kresna untuk diperistri. Demi membalaskan dendamnya, ia pun berguru dan mengabdi pada Jarasanda. Dengan bantuan Jarasanda, Sisupala berhasil merebut tahta Kerajaan Mathura, kerajaan milik ayah Kresna.
Syahdan, amarah Sisupala pun meledak di Upacara Rajasuya yang digelar Yudhistira di Negeri Kuru. Di bawah kepemimpinan Yudhistira, Negeri Kuru berhasil menaklukkan para raja di Bharatawarsha. Para raja yang kalah dalam perang diundang ke upacara Rajasura, tak terkecuali Sisupala. Yudhistira yang berbahagia ingin memberikan hadiah kepada sahabatnya yang dianggap paling berjasa dalam kemenangan perang. Ia meminta saran kepada kakek Bisma dan sepakat menunjuk Kresna sebagai orang yang paling berjasa atas kemenangan perang. Mendengar pengumuman Yudhistira, sontak Sisupala menolak keputusan tersebut dan memaki serta menghina Kresna. Sisupala terhitung lebih dari seratus kali menghina dan memaki Kresna. (hlm 30)
Dari cerita tokoh pewayangan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hasratlah yang memancing makian terlontar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, hasrat merupakan keinginan (harapan) yang kuat.

Teori Memaki
Beranjak dari kisah pewayangan Jawa–yang memunculkan hasrat sebagai cikal munculnya makian–ke ilmu pengetahuan, sejarah adanya makian berawal dari munculnya kata-kata. Karena makian bagian dari sebuah kata-kata. Terdapat tiga teori besar yang berkembang. Teori teologis, kata-kata berasal dari Tuhan; Teori naturalis, kodrat dasar manusia ialah berkata-kata dan kata-kata sudah ada dalam diri manusia; serta teori konvensionalis, lahirnya kata-kata karena ada kesepakatan antara orang yang memakainya dalam konteks tertentu. (hlm 19)
Adanya ilmu pengetahuan dan teori akan selalu berkembang menyesuaikan tingkat intelektualitas manusianya. Akan ada banyak yang mendebat suatu teori dengan teori lain. Agaknya dalam mendokumentasikan kumpulan esainya, teman-teman Ekspresi UNY menganut teori konvensionalis itu. Caci maki merupakan bagian dari sebuah konvensi dalam ruang, waktu, dan konteks tertentu. Dimana kata-kata bermakna sangat beragam bergantung situasi yang berbeda.
***
Buku ini cukup komplit dalam membahas makian, terutama dari sudut pandang linguistik dan budaya. Secara pribadi, saya sudah merasakan hampir semua kata makian yang terlontar dan dibahas buku ini. Namun didalam buku ini dijelaskan proses lahirnya sebuah makian. Terdapat tiga bagian dalam buku setebal lebih dari 200 halaman ini; mekanisme makian, fenomena makian, dan persepsi atas makian.
Salah satu opini yang bisa diambil contoh adalah mengenai bahasa Indonesia yang didesain sulit untuk dipakai memaki. Memaki “seperti setan kau itu” tentu tidak lebih menyakitkan dibanding dengan “pukimak kau itu.” (hlm 22) Sama-sama memaki namun bisa menghasilkan kesan yang berbeda. Ini adalah hasil dari politisasi dan ideologisasi pada bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia kadung menjadi simbol resmi dan formal yang bahkan sudah di doktrin sejak kita mengenyam bangku sekolah dasar sehingga kesannya lebih baik dan sopan. Sedangkan dalam bahasa daerah, pendekatannya lebih ke historis dan kultur. Bahasa yang turun temurun dan apa adanya, sehingga bebas dari kesan formal. Dan nyatanya juga bahasa daerah lebih ampuh untuk digunakan daripada bahasa Indonesia. “Asu” lebih menohok daripada “anjing”, “jancuk” lebih menohok daripada “bersetubuh”, dsb…
Ada pula opini menarik mengenai terjadinya diskriminasi gender dalam memaki. Dan diskriminasi ini masih terjadi sampai sekarang. Laki-laki akan dianggap lumrah dan bisa dimaafkan secara moral jika memaki. Namun tidak dengan perempuan. Laki-laki mengucap “anjing” atau “anjir” itu biasa saja, namun perempuan akan dicap buruk jika mengucap kata yang sama (hlm 119). Diskriminasi pun berlanjut dari subyek ke obyek makian. Contoh nya seperti makian yang cenderung memilih istilah-istilah feminin seperti motherfucker” bukan “fatherfucker”. Atau anggapan pelacur yang kerap diartikan pada istilah WTS (wanita tuna susila). Mengapa lelaki tidak ada istilah serupa? Padahal banyak pula pelacur lelaki. Fenomena ini seakan mengamini bahwa makian adalah milik kaum adam dan wanita adalah obyeknya. Jika ini masih terjadi, bukankah ini bukti bahwa wanita masih dijajah laki-laki dalam lingkup bahasa?
Saya pribadi juga mengamini opini maraknya makian luar negeri seperti “fuck”, “shit”, “asshole” yang lambat laun menggeser makian-makian lokal. Impor makian barat ini selain dampak masuknya budaya-budaya luar juga mempunyai fungsi untuk menghaluskan makian agar tidak terlalu frontal (hlm 24). Saya kerap mengucap makian “shit” saat kesal dan kecewa dengan suatu keadaan. Dan itu memang terkesan lebih halus di telinga orang lain.
***

Satu yang mungkin menjadi kekurangan dari buku ini menurut saya adalah minimnya ilustrasi . Saya berpendapat mungkin karena ini merupakan buku kumpulan esai yang membahas makian dengan “agak serius” jadi salah satu alasan tak ada ilustrasi di dalamnya. Dengan mempelajari makian dari berbagai sudut pandang, saya berpikir bahwa makian harus disikapi layaknya pakaian. Kita dapat menggunakannya asal tahu tempat. Kata “jancuk” atau “cuk” bisa dipakai sebagai panggilan sayang atau simbol keakraban antar teman. Namun jika dipakai dalam forum resmi atau pada orang yang lebih tua, tentu bisa berakibat fatal. Maka dari itu, kita perlu bijak dalam memilih makian, baik katanya, tempatnya, waktunya, maupun yang menerimanya.

SHARE THIS

0 Comments: