Sabtu, 14 Oktober 2017

Sulitnya Memindai Sisi Cacat Lionel Messi

Lionel Messi sedang merayakan gol pertama timnya pada laga Kualifikasi Piala Dunia melawan Uruguay, 1 September 2016. (Dok. Internet)

Oleh: Herdanang A Fauzan

“Semua yang kutahu tentang moralitas dan kewajiban pria, aku berutang pada sepakbola,” ungkap Albert Camus pada suatu titik dalam hidupnya. Camus barangkali merupakan satu dari segelitntir filsuf yang dalam periode kehidupan singkatnya belajar dari sepakbola.

Melanjutkan ungkapan Camus, bagiku sepakbola memang olahraga yang paling mengejawantahkan dinamika hidup. Kita bisa belajar tentang bagaimana arogansi penguasa dengan menengok kehidupan berantakan Diego Maradona pada periode senja sepakbolanya. Dari karir seorang Ronaldo Nazario de Lima, kita dapat menarik premis bahwa segala yang ada di dunia ini bisa hilang dalam waktu sekejap, sebagaimana gelontoran prestasinya yang raib diguyur siraman alkohol pada waktu dua tahun saja.

Mencari yang positif pun tak sukar. Lihatlah pria Perancis bernama Zinedine Zidane itu. Dari pengabdiannya untuk Real Madrid—sebagai pemain dan kemudian pelatih—ia mengajarkan kesetiaan dididik dan mendidik di satu tempat. Seperti dua biji kacang yang tak lupa pada sang kulit.

Namun, bahkan sosok Zidane tak luput dari cacat. Bagi tuan dan puan yang pernah menyaksikan permainan Zizou semasa muda, tentu sudah tak dapat ditampik lagi gaya bermainnya yang merepresentasikan keangkuhan khas pemain nomor wahid dunia. Semacam keangkuhan yang pernah ditunjukkan Maradona kala menggiring bola seorang diri dari sektor pertahanan hingga kotak penalti lawan, lalu menjebol gawang Timnas Inggris pada Piala Dunia 1968. Atau yang paling baru, serupa keangkuhan Neymar dan Cavani kala beradu rebut jatah tendangan bebas pada laga PSG melawan Lyon beberapa pekan lalu.

Andai Camus masih hidup di periode Zidane, kurasa sosoknya hanya akan bisa tertawa. Entah menertawakan kemalangan dari keangkuhan Zidane, atau mempercandakan lelucon lain tentang sepakbola.

Tapi, jika diberi kekuatan menghidupkan mayat sebagaimana yang dilakukan Orochimaru dalam serial anime Naruto, aku tak akan menghidupkan Camus di era Zidane. Dengan senang hati, aku lebih memilih menghidupkannya lagi saat ini, di era ketika jagat sepakbola berada di tangan pria mungil dari Argentina.

Lelaki yang konon tinggi badannya hanya 170 cm itu bernama Lionel Messi. Ia barangkali adalah pemain sepakbola terunik yang pernah kukenal di seluruh dunia. 

Ini bukan semata karena permainan lincahnya. Kalaupun hendak membahas performanya di atas lapangan, jelas tulisan ini tak cukup untuk menjlentrehkan bakat sang Mesiah. Kakinya seperti bermata. Tiap bersentuhan dengan bola, sepasang penyangga itu seolah dapat menebak kemana benda bulat itu harus dialirkan. Lima penghargaan Ballon d’Or rasanya lebih dari kurang untuk merepresentasikan kejeniusan Messi.

Lebih dari itu, hal paling unik dari Messi adalah betapa minim sisi negatif yang dimilikinya. Andai kita kilas ke belakang, nyaris semua pesepakbola yang pernah memegang suatu era memiliki sisi cacat yang tak sukar dideteksi.

Tak perlu lagi kubahas Maradona dan Ronaldo Nazario. Cukup tengok seorang pria bernama Ronaldinho. Pernah dijuluki raja tiki-taka, pemain bernama asli Ronaldo de Assis Moreira itu harus puas sisi buruknya terekspos setelah menjadi korban candu alkohol dan narkoba.

Atau mari kita tengok pria Brazil lain bernama Ricardo Kaka. Sempat melakoni periode emas di kota Milan, Kaka harus puas sisi cacatnya di luar lapangan terekspos. Setelah dicap pengkhianat karena hengkang ke Madrid bertahun-tahun silam, pekan lalu pemain yang kini merumput di Major League Soccer (MLS) Amerika itu mengatakan dirinya tak lagi menikmati bermain sepakbola sebagaimana dulu.

Ingin contoh lebih nyata?

Mari kita tengok kiblat lawan Messi yang bernama Cristiano Ronaldo. Tak ada yang perlu menafikkan talenta pria Portugis itu. Sebagian bahkan menyebutnya lebih baik tinimbang Messi. Namun, memindai sisi cacat Ronaldo—baik di dalam maupun luar lapangan—jelas bukan perkara sulit.

Cacat Cristiano di lapangan sudah terlihat kala ia mendorong wasit dan menerima skors lima pertandingan di La Liga pada awal musim ini. Di luar lapangan, para ukhti pengagum akhi-akhi bercelana cingkrang di Masjid Enha jelas bakal mencemooh kehidupan Ronaldo yang punya anak tanpa jelas asal muasal rahimnya.

Perlukah sisi gelap tersebut dibandingkan dengan Messi?

Kurasa tidak. Tanpa dijelaskan pun kalian pasti paham bagaimana Messi hidup di luar maupun dalam lapangan. Di luar panggung sepakbola, ia punya kehidupan idaman dengan kekasih yang sekaligus sepupu sahabatnya sejak kecil, Antonella Roccuzzo. Kehidupan yang bakal membuat para abege pembaca buku pra-nikah seketika umbelen dan memimpikan hal serupa.

Atau di dalam lapangan, sudah berapa kali Messi mengikhlaskan panggung protagonis untuk rekannya? Ia bahkan pernah memberikan jatah tendangan penaltinya hanya demi genapnya torehan gol Luis Suarez.

Dari itu semua, kurasa nyaris setiap kepala setuju jika memindai sisi cacat Messi ibarat mencari satu jarum di dalam tumpukan empat kwintal jerami. Tentu aku tak bermaksud menuhankan Messi. Pasti ada sisi cacat yang dimilikinya. Namun, sekali lagi kutekankan, sisi itu sukar untuk didapati—setidaknya hingga detik ini.

Kurasa andai Camus masih hidup, ia bakal mengatakan hal serupa. Lalu dengan langkah gontai sang filsuf akan berjalan ke bandara dan terbang ke Spanyol untuk menyaksikan laga terdekat FC Barcelona.

Ya, daripada memindai dan mencari-cari sisi cacatnya, lebih baik kita duduk dan menikmati permainan indah sang pemegang kunci peradaban sepakbola.

SHARE THIS

0 Comments: