Selasa, 05 September 2017

Narasi Jokowi & Teater Wayang dalam Obrolan Politik

Judul : Jokowi, Sangkuni Machiavelli Pengarang : Seno Gumira Ajidarma Penerbit : PT. Mizan Pustaka | Dimensi : 21 cm | Tebal : 216 halaman | ISBN : 978-979-433-977-0 
(Dok. VISI/Eko)

Oleh: Eko Hari Setyaji

“Manusia bertarung memperebutkan kekuasaan atas nama agama dan bukan sebaliknya. Agama apa pun tidak membenarkan pertarungan antar agama dan tidak akan pernah ada kecuali manusia yang begitu bodoh sehingga menafsirkan yang sebaliknya.” – Seno Gumira Ajidarma (SGA)

Masih ingat slogan Jokowi-JK adalah kita? Sebuah slogan pemenangan kampanye pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang terkesan sepele dan sederhana, tetapi amat efektif dalam membangun citra lewat politik identitasnya di Pilpres 2014. Jokowi identik dengan kita; orang biasa. Ia berasal dari kita, bekerja bersama-sama dengan kita. Kita adalah pekerja. Kerja, kerja, dan kerja! Tanpa bekerja, kita bisa mati kelaparan. Mengapa? Karena kita bukan darah biru. Oleh sebab itu, kita mesti memilih Jokowi. Karena Jokowi adalah kita, dan kita adalah Jokowi. Jokowi-JK adalah kita!

Benarkah demikian?
Setidaknya, barangkali itulah skenario yang dibuat para konsultan politik dalam merumuskan wacana kampanye Jokowi. Tentu, kita tak boleh asal percaya begitu saja. Pada akhirnya, pun strategi tersebut cukup ampuh memilitansi massa untuk memenangkan Jokowi hingga berhasil menduduki presiden republik ini;  dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Obrolan Politik
Dikompilasi menjadi “obrolan politik”, buku Jokowi, Sangkuni, Machiavelli terdiri dari kumpulan artikel populer Seno Gumira Ajidarma (SDA) atau yang acap dikenal dengan sebutan Sukab menggambarkan realitas politik Indonesia kontemporer. Seno membedah narasi politik kekinian lewat analisis pisau budaya dan realitas media. Lewat berbagai referensi, ia mengidentikkan dunia politik Indonesia sebagai sebuah teater yang berantakan, lengkap dengan para aktor dan banyak gimmick dalam bumbu drama.
Dalam konsepsi Seno, terdapat tiga karakter dominan dalam politik Indonesia kontemporer, yang direpresentasikan melalui tiga tokoh: Jokowi, Sangkuni, dan Machiavelli. Jokowi adalah perwujudan rakyat kecil yang mengalami euforia, dan mendadak ketiban pulung kekuasaan pasca robohnya rezim otoriter selama dua periode. Sangkuni adalah perwujudan simbol dari tangan-tangan yang tak tampak, sebagai pembisik yang samar-samar. Sedangkan Machiavelli menunjukkan tabiat asli politik, hasrat terdalam manusia yang haus akan kuasa.
Euforia politik bagi wong cilik, misalnya, tergambarkan dalam artikel “Petruk jadi Raja”. Dalam artikel ini, Seno menggambarkan realitas politik mutakhir seperti lakon wayang Petruk jadi Raja. Pada saat perebutan Jamus Kalimasada antara Dewi Mustakaweni (yang mencuri pusaka itu dari Kerajaan Amarta) dan Priyambada (anak Arjuna yang merebutnya kembali), Petruk mendapat amanah titipan agar menjaga pusaka Kalimasada. Namun, Petruk justru kabur dan menghilang. Ia kemudian muncul kembali setelah menaklukkan sebuah kerajaan dan menjadi raja bergelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot (hal 78–79).
Kisah wayang ini tentu relevan dengan kondisi politik Indonesia pasca jatuhnya rezim. Rakyat biasa kini disebut sebagai pemegang kedaulatan negara. Rakyat adalah penentu dari nasib mereka sendiri. Jamus kalimasada, perwujudan dari pusaka kekuasaan, telah kembali pada Petruk (rakyat biasa). Namun, mampukah Petruk menggunakan pusaka itu untuk mewujudkan sebuah kerajaan yang makmur? Benarkah bahwa kini rakyat telah sungguh-sungguh berdaulat?
Dalam artikel “Sangkuni Tidak Dibantu Dewa”, Seno menyatakan bahwa perilaku politik Indonesia dibentuk oleh wacana kebudayaan. Bahkan di era online abad 21, referensi politik Indonesia masih merujuk pada tokoh-tokoh pewayangan. Secara mengejutkan, lewat penelusuran di dunia maya terhadap 337 media online (2013) di Indonesia, tokoh Sangkuni menempati peringkat teratas sebagai tokoh yang paling identik dengan dunia perpolitikan Indonesia, melebihi tokoh-tokoh politik dunia wayang seperti Durna, Widura, ataupun Kresna (hal 23).
Mengapa Sangkuni? Tak lain karena ia merupakan faktor penentu yang mempengaruhi kebijakan raja. Karena pengaruhnya tersebut, ia justru menjadi otak dan tangan-tangan tak tampak dari rangkaian peristiwa politik. Perannya kerap kali lebih besar dari raja itu sendiri. Sangkuni akan selalu dirujuk sebagai representasi kelicikan, dengan ucapan dan tindakan tak jujur untuk meraih tujuan, serta kerap mengandalkan tipu daya dan tak segan menumpahkan darah (hal 24).
Segala kebobrokan politik tersebut sebetulnya bersumber pada apa yang dituturkan oleh Machiavelli. Dalam “Machiavelli dan Korupsi Politik”, Seno menafsir bahwa gagasan Machiavelli merupakan parodi dalam moralitas kekuasaan. Machiavelli membongkar praktik kemunafikan politik dan menyuguhkan apa yang ada senyata-nyatanya (hal 165). Celakanya, tulisan Machiavelli justru menjadi rumus yang jitu bagi oportunis-oportunis kekuasaan. Politikus kini tak ubahnya seperti pemain teater yang bermain plot drama, seolah-olah menjunjung tinggi daulat rakyat. Namun, semua itu hanyalah topeng, karena yang sejati hanya naluri untuk berkuasa.
Hampir dua dekade rezim otoriter tumbang dan Indonesia menjalani periode reformasi. Akan tetapi, apakah kita telah sungguh-sungguh ikut merayakan reformasi? Atau hanya Jokowi, para Sangkuni, dan pengikut Machiavelli yang menikmati buahnya?

SHARE THIS

0 Comments: