Senin, 15 Mei 2017

Mengenal Tagore, Rumah, dan Dunianya

Judul: Rumah dan Dunia | Penulis: Rabindranath Tagore | Penerbit: Bentang Budaya | Tahun: 2002 | Tebal: 301 halaman | Bahasa: Indonesia (diterjemahkan dari bahasa India) | Penerjemah: Hartono Hadikusumo. 

Oleh: Herdanang A Fauzan

Hingga detik ini, saya masih percaya bahwa cara terbaik untuk mengenali seseorang adalah dengan membaca tulisannya. Saya punya sahabat yang tiap menulis acap kali menggunakan istilah-istilah barat. Dan benar saja, sahabat saya tersebut memang seorang penggila tren-tren barat. Sama halnya ibu saya, di mana ia sering menuliskan sesuatu dengan paragraf-paragraf deduktif karena memang dirinya—sejauh yang saya kenal selama 19 tahun menjalani hidup—adalah seorang pribadi yang memiliki kecenderungan gaya bertindak ‘umum ke khusus’.

Tulisan, terkadang juga dapat merefleksikan selera baca seseorang. Adalah hal yang lazim ketika penggemar karya-karya Yasunari Kawabata dan Gao Xingjian cenderung menarasikan suatu cerita dengan plot lamban. Sebaliknya, sangat mungkin para pembaca cerita-cerita beralur cepat akan menuliskan karya atau tulisannya secara cepat pula.

Kepercayaan di atas pula yang saya gunakan untuk mengenali sosok Rabindranath Tagore. Sebagaimana yang sering kita baca dari buku-buku sejarah, Tagore adalah salah satu sosok yang berpengaruh bagi India. Bersama sahabat seperjuangannya, Mahatma Gandhi, ia menelurkan berbagai pemikiran-pemikiran anti-kekerasan yang cukup merevolusi kedewasaan mental orang-orang di negeri Bengala. Maka tak berlebihan pula jika pada akhirnya jasa-jasa tersebut mengantarkan Tagore menjadi orang Asia pertama yang berhasil mendapat penghargaan nobel di bidang kesusastraan, tepatnya pada tahun 1913.

Salah satu karya yang mencerminkan pemikiran-pemikiran Tagore adalah Ghare Baire. Karya ini sendiri sudah diterbitkan ke Bahasa Indonesia oleh Bentang Budaya dengan judul Rumah dan Dunia. Diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo, Novel setebal 301 halaman ini mengisahkan konflik idealisme antara Nikhil, istrinya yang bernama Bimala, serta seorang sahabat Nikhil yang bernama Sandip.

Tagore menggambarkan ketiga tokoh utama tersebut dengan tegas dan tidak setengah-setengah. Nikhil si protagonis misalnya. Ia digambarkan sebagai sosok saudagar arif dan bijaksana yang menentang praktik swadesi dengan cara-cara brutal dan merugikan. Sedangkan Sandip yang menjadi tokoh antagonis digambarkan sebagai sesosok pria picik dan khianat yang menghalalkan segala cara untuk memperjuangkan kemerdekaan India. Salah satu praktik yang dihalalkan Sandip untuk menentang kolonialisme adalah dengan membakar barang-barang buatan Inggris yang beredar di India.

Dalam novel ini, sangat terlihat tujuan Tagore untuk menggambarkan kondisi pergolakan internal di India pada awal abad 20. Baik Nikhil dan Sandip sejatinya memilliki tujuan yang sama, yakni untuk memerdekakan negeri mereka. Hanya saja, keduanya memiliki idealisme yang berbeda. Jika Sandip melegalkan dan mendorong praktik-praktik swadesi dengan cara brutal, Nikhil justru berpikiran sebaliknya. Si protagonis berpandangan bahwa melakukan swadesi dengan cara membakar barang-barang produksi asing justru akan merugikan para pedagang kelas bawah di India yang masih memasarkan produk-produk asing. Hal ini dikarenakan pedagang-pedagang tersebut harus merelakan dagangan mereka dibakar oleh sekelompok ekstrimis tanpa ada ganti rugi.

Nikhil digambarkan sebagai sebaik-baiknya malaikat, sementara Sandip digambarkan sebagai seburuk-buruknya setan. Keduanya kemudian memperebutkan Bimala yang digambarkan sebagai senaif-naifnya manusia. Posisi Bimala seolah menentukan idealisme siapa yang lebih unggul. Di satu sisi, Bimala ingin setia kepada Nikhil sang suami. Di sisi lain, Bimala juga mulai tergoyahkan oleh daya tarik Sandip yang selalu mengucapkan kalimat berapi-api di hadapan para pengikutnya.

Dari segi penulisan, Rumah dan Dunia sejatinya tidak bisa begitu saja dikategorikan sebagai ‘karya sastra yang baik’. Banyak transisi cerita yang terkesan melompat dan dipaksakan. Misalnya pada bagian akhir ketika Nikhil hendak mengajak Bimala untuk pindah rumah, sangat terasa nuansa ‘memaksa’ agar cerita cepat selesai.

Tagore juga terkesan terlalu banyak menjelaskan hal-hal yang sebenarnya berada di luar konteks cerita. Sekilas, penjelasan-penjelasan tersebut sebenarnya bukan hal yang anti-mainstream, khususnya di kesusastraan Asia. Banyak penulis-penulis Asia lain macam Yasunari Kawabata dan Mo Yan yang juga kerap melakukan hal serupa. Hanya saja, baik Kawabata maupun Mo Yan melakukannya pada cerita yang plotnya bergerak lamban.

Menjadi aneh ketika Tagore banyak menyisipkan 'penjelasan di luar konteks' pada cerita Rumah dan Dunia yang plotnya tergolong cepat. Hal ini mengakibatkan Rumah dan Dunia terlihat seperti sebuah novel berkonten tipis yang dipaksakan sedemikian rupa agar terlihat tebal.

Kekurangan dari segi penulisan ini sebenarnya merupakan hal yang wajar apabila dikaitkan dengan latar belakang Tagore yang bukan murni sastrawan. Tagore adalah seorang filsuf, seniman, aktivis, penyair, sastrawan, serta musikus. Barangkali hal tersebut pula yang mengakibatkan tulisan Tagore terkesan seperti ‘campur aduk’.

Di luar kurang dan lebihnya, menurut saya Rumah dan Dunia sudah cukup berhasil menggambarkan  seperti apa sosok penulisnya. Setidaknya, membaca novel ini membuat siapapun akan dapat lebih mengenal latar belakang, karakter, dan idealisme seorang Rabindranath Tagore. 

SHARE THIS

0 Comments: