Jumat, 31 Maret 2017

Menyimak Narasi Asia Tenggara Lewat Ceritalah ASEAN

Karim Raslan sedang menyampaikan diskusi pada seminar dan kuliah umum Ceritalah Asean Datang ke Solo yang diselenggarakan pada Rabu (29/3/2017) lalu. (Dok.VISI/Yuni)

Ketika para kepala negara
di Asia Tenggara yang tergabung dalam The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) menandatangani Deklarasi Hanoi pada tahun 2010, cita-cita untuk menjadikan regional ini saling terhubung disepakati. ASEAN Community alias Komunitas ASEAN namanya, suatu ambisi konektivitas intrakawasan yang begitu menjanjikan ini pun memunculkan antisipasi.

31 Desember 2015 menjadi penanda resmi bergulirnya Komunitas ASEAN di sepuluh negara Asia Tenggara. Setahun lebih berjalan, serangkaian desis skeptisisme mulai terdengar. Isu mengenai implementasi Komunitas ASEAN yang hanya mencapai 50% mulai menggema. Buruknya pemerintahan sejumlah negara ASEAN, korupsi, hingga ketidaktahuan masyarakat di Asia Tenggara tentang komunitas ini menjadi alasan mengapa perkembangan Komunitas ASEAN selama setahun terakhir seperti berjalan di tempat.

Banyaknya masyarakat di Asia Tenggara yang tak begitu mengenal ASEAN—terlebih Komunitas ASEAN—menjadi cerita lain bagi Karim Raslan. Kolumnis kelahiran Petaling Jaya, Malaysia ini menelusuri kota-kota lapis dua di daratan Indocina, menyusuri jalan setapak di pedesaan Filipina dan menyampaikan diskusi di Auditorium UNS untuk memperkenalkan ASEAN. Bersama dengan tim Ceritalah ASEAN, ia mengadakan serangkaian diskusi dengan tema What Indonesia can gain from ASEAN pada Rabu (29/3/2017).

“Ceritalah ASEAN datang ke Solo,” demikian tertulis dalam spanduk acara yang dihadiri mahasiswa UNS dan berbagai pengusaha dari sejumlah kelompok profesi tersebut. Melalui diskusi ini, Ceritalah ASEAN menyampaikan keanekaragaman di kawasan Asia Tenggara yang terhimpun dalam seri perjalanan dengan bahasan topik bertema politik, budaya dan gaya hidup kepada para peserta. Tak lupa pula, sebuah video berdurasi sekitar lima menit berjudul Solo: Zaman Edan ditayangkan. Salah satu episode program Ceritalah Indonesia ini menceritakan peristiwa kerusuhan tahun 1998 yang diwarnai sentimen etnis.

 “Solo punya potensi yang besar, bahkan presiden Indonesia dari Solo,” terang Karim Raslan di hadapan ratusan audiens. Meskipun bukan kota besar seperti Jakarta, menurut Karim, Solo dengan budayanya bisa menjadi rujukan bagi masyarakat Asia Tenggara untuk lebih memahami Indonesia. Pria yang telah lebih dari 20 tahun menulis berbagai topik terkait ASEAN ini pun memberi contoh Kota Davao sebagai perbandingan. Salah satu kota di Filipina tersebut merupakan kota asal Presiden Duterte.

Kunjungan Ceritalah ASEAN di UNS tidak sebatas pada diskusi oleh Karim Raslan saja. Pada sesi lain, Phan Dieu Linh—seorang mahasiswa asal Universitas Ho Chi Minh, Vietnam—berbagi mengenai negara asalnya yang terus mengalami pertumbuhan pesat. Gadis berambut hitam panjang yang fasih berbicara tiga bahasa—Vietnam, Inggris, Jerman—itu juga menceritakan soal pengalamannya berpetualang bersama tim Ceritalah ASEAN di berbagai negara Asia Tenggara.

Pekikan tertahan dan gidikan ngeri mengisi seisi ruang auditorium ketika acara berganti ke sesi lainnya. Kali ini tim Ceritalah ASEAN  yang berasal dari Filipina maju ke depan panggung membawa berbutir-butir telur. Layar proyektor di saat yang bersamaan menampilkan sebuah video mengenai sebuah makanan khas asal Filipina bernama balut. Pekikan tadi bukan tanpa alasan, si balut yang dimaksud ternyata merupakan sejenis telur berisi embrio ayam yang telah berkembang hampir sempurna dan direbus untuk kemudian disantap. Sejumlah mahasiswa lantas diminta untuk maju menjadi sukarelawan pencicip hidangan tersebut.

“Sebenarnya rasanya biasa sih, seperti telur pada umumnya. Mungkin karena bentuk fisiknya yang—maaf—agak menjijikkan, kita jadi enggan nyoba,” kisah Apriliana Eka Saputri, mahasiswa Ilmu Teknologi Pangan UNS yang turut mencicipi balutLayaknya sebuah metafora, aksi memakan balut tadi adalah cara yang dipakai Ceritalah ASEAN agar para peserta yang sebagian besar merupakan mahasiswa Solo bisa berinteraksi dan mengenal budaya lain di Asia Tenggara. 

“Kami berharap dengan acara ini, masyarakat di Kota Solo dapat berpikir lebih luas tentang ASEAN, tak hanya tentang Indonesia saja,” imbuh Audi Ali, salah satu perwakilan tim Ceritalah ASEAN asal Malaysia saat diwawancarai oleh reporter VISI seusai acara.

Di lain tempat, Karim Raslan tampak tengah duduk di tengah kerumunan wartawan sambil menjawab satu per satu pertanyaan yang dilontarkan peserta seminar. Ia kembali menekankan bahwa aksi yang nyata untuk mewujudkan Komunitas ASEAN adalah dengan menjalin persahabatan dan koneksi ke berbagai individu di negara-negara lain.

Cross the border, find the experiences! Tidak perlu dengan biaya besar, dengan backpacking pun bisa,” pungkas Karim. Kalimat terakhirnya seolah menegaskan, bahwa untuk menjadi bagian dari ASEAN tidak melulu harus dilakukan lewat kerja sama tingkat tinggi antar kepala negara. Rakyat biasa pun bisa. Salah satu caranya adalah dengan bercerita, menarasikan setiap elemen tentang Asia Tenggara dan menyiarkannya ke berbagai penjuru dunia. (Iim)


SHARE THIS

0 Comments: