Sabtu, 25 Maret 2017

Aku adalah Pemuda Indonesia

(Dok. Internet)
Oleh: Saad Fajrul Aziz
(Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UNS)

Aku adalah remaja Indonesia yang sangat biasa. Merasakan ragu kepada orang-orang Senayan, selalu mendukung tim nasional saat masuk final sebuah turnamen (terutama jika melawan Malaysia), suka berangan-angan memiliki jabatan sebagai menteri dan ingin tinggal di luar negeri. Mungkin yang sedikit berbeda dengan remaja lain adalah aku tidak hanya mengucapkannya di tempat nongkrong melainkan menuliskannya di sebuah kertas.

Menjadi orang Indonesia dalam beberapa hal adalah sangat menyenangkan. Bentangan alam yang indah dan menawan hati bagi siapa pun yang menyaksikannya. Ketersediaan bahan pangan yang beraneka macam dari buah-buahan sampai sayuran dan aneka jenis daging. Setelah diolah pun bahan makanan tersebut menjadi masakan-masakan enak seperti rendang dan sate kambing. Orang-orangnya pun, katanya ramah-ramah terhadap pendatang. Hal ini bisa dilihat dari betapa perhatiannya orang Indonesia. Baru kenal saja sudah menanyakan perihal keluarga dan senantiasa mendoakan agar semua sehat-sehat saja. Belum lagi kebiasaan saling sapa, baik dengan senyum tersungging di bibir atau bunyi klakson jika bertemu di jalan. Menjadi orang Indonesia dalam hal-hal di atas terasa sangat menyenangkan.

Di sisi lain, menjadi orang Indonesia terasa tidak menyenangkan dan cenderung membosankan, atau bahkan memuakkan. Setidaknya hal itu lah yang ada di dalam tempurung kepalaku. Membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) misalnya. Setahun setelah melakukan rekam data di kantor kecamatan baru lah aku mendapat surat undangan untuk mengambil KTP modern dengan sebutan e-KTP. Aku bergegas mengambilnya karena ini adalah KTP pertamaku. Bukan karena saking bersemangatnya, namun lebih karena aku sangat kesal. Lantaran lamanya proses pembuatan KTP, aku terpaksa merelakan peluang memperoleh beasiswa yang mensyaratkan kepada pelamarnya untuk mengirimkan scan KTP. Perkara lain yang membuatku malas adalah perihal transportasi publik. Suatu ketika saat aku berkunjung ke Singapura dan mataku terbelalak menyaksikan betapa semua tempat bisa dijangkau menggunakan alat transportasi umum.

Saat ini aku tinggal di Jawa Tengah, tepatnya di Kota Surakarta. Sebuah daerah yang menurutku cukup maju di Indonesia ini tidaklah memiliki alat transportasi umum yang bisa menjangkau seluruh wilayahnya. Pikiranku melayang jauh ke daerah dengan golongan terdepan, terpencil dan tertinggal. Aku yakin mereka tidak terlalu memikirkan soal kendaraan umum. Jalan kaki atau naik kuda rasanya lebih efisien karena bus atau mobil ku rasa tidak akan mampu sampai di daerah yang belum beraspal. Tentu saja aku berpikiran transportasi umum sangatlah penting karena aku tidak mampu membeli kendaraan pribadi seperti teman-temanku. Keberagaman pilihan dan model bagiku sama saja jika aku tetap tidak sanggup memilikinya.

Perkara lain yang membuatku tidak sreg dengan kondisi negara ini adalah fenomena naiknya harga barang-barang saat mendekati Idul Fitri. Aku adalah manusia biasa yang membutuhkan makan dan minum juga baju baru untuk lebaran. Melihat kondisi naiknya harga bahan makan adalah alamat bagi keluargaku untuk lebih berhemat lagii daripada bulan lalu. Kemudian kebiasaan tetangga yang bergunjing menyoal anak siapa yang tidak memakai baju baru saat lebaran cukup merisaukan ibuku dan akhirnya terpaksa juga membelikan baju baru. Jika uang untuk membeli baju kurang maka tabungan ayam betina yang kumaksudkan untuk umroh (amin) harus rela dipecah.

Negeri ini dengan segala macam budaya dalam masyarakatnya dan segala tetek bengek birokrasi memunculkan dilema bagiku yang masih muda ini. Pada satu sisi kecintaanku pada negara ini tidak perlu dipertanyakan. Di sisi lain, aku  membenci negeri ini sejadi-jadinya. Aku rasa aku tidak akan mendiskusikan dilema yang kualami ini kepada teman-temanku. Aku yakin mereka mengalami hal serupa dan tidak bisak rasanya meminta pendapat ke orang yang tidak berpengalaman.

Mendiskusikan dengan orang tua rasanya juga tidak tepat, karena jika ada pendapat mereka yang aku tolak aku akan dikatai sebagai anak kecil yang tak tahu apa-apa. Sedangkan mengajak diskusi adik-adik yang masih SD atau SMP juga tidak baik karena aku yakin mereka sedang sibuk dengan gawai mereka masing-masing. Bukanlah solusi yang akan kudapat dari mereka, melainkan ajakan untuk bergabung di grup obrolan dunia maya mereka. Melayangkan surat berisi pertanyaan ke Wali Kota juga tidak akan kulakukan. Alih-alih ditanggapi, mungkin suratku akan dikira surat permohonan dana untuk kegiatan organisasi.

Belakangan aku bertemu dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia. Ada yang dari Eropa, Afrika dan sesama Asia. Aku kira dengan bertemu mereka hidupku menjadi lebih berarti. Dari tutur kata mereka aku memahami bahwa hidup di negara lain pun tidak selalu lebih baik dari hidup di negeri sendiri. Selalu ada suka dan duka dimana pun kita menetap. Di negara maju—meski kemajuan teknologi telah dan selalu mengalami perkembangan—tidak mudah lagi dijumpai masyarakat yang doyan bertegur sapa terhadap tetangga mereka yang baru pulang kerja. Tingginya pendapatan negara maju pun diiringi dengan biaya hidup yang semakin lama semakin naik saja. Kebutuhan sehari-hari pun memiliki perbedaan. Tinggal di negara maju akan menuntut uang lebih banyak untuk membayar jaminan  kesehatan dan tagihan bulanan: baik untuk membayar cicilan rumah, mobil, hingga koran.

Tinggal di negara terbelakang pun tidak selamanya menyedihkan. Ketiadaan kebutuhan yang berjibun membuat penghasilan kecil pun cukup untuk hidup. Keinginan yang tidak aneh-aneh turut membuat pengeluaran menjadi lebih sedikit. Hidup pun terasa lebih tenang. Pada saat orang-orang dari negara maju mewajibkan diri mereka untuk mengunjungi ujung dunia, orang-orang ini dengan bisa makan sehari-hari sudah puas. Alangkah bahagianya hidup seperti itu.

Aku pun mulai melihat-lihat ke dalam negeriku lagi. Banyak hal yang selama ini ternyata belum aku syukuri. Hidup di Indonesia tidak sepenuhnya menyebalkan. Berkeinginan hidup di negeri orang juga bukan merupakan cita-cita yang salah. Dalam setiap pilihan selalu memiliki dampak negatif dan positif. Kata negatif sebaiknya aku sebut terlebih dahulu karena aku yakin setelah kesedihan akan muncul kebahagiaan. Bukanlah setelah malam yang kelam selalu diiringi munculnya mentari yang hangat?


SHARE THIS

0 Comments: