Selasa, 13 Desember 2016

Menapaki Kisah Cinta yang Getir

Judul: Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut | Penulis: Miftakhul Faham Syah  | Penerbit: Indie Book Corner | Tebal: 185 Halaman | Cetakan: Kedua, 2016(Dok.VISI/Fauzan)

Oleh: Herdanang Ahmad Fauzan

Pagi itu, setelah bangun tidur, di halaman belakang rumahnya Bambang Pamungkas menyempatkan diri menikmati secangkir teh panas tanpa gula. Kalender menunjukkan tanggal 22 Mei 2008. Sehari sebelumnya, Timnas Indonesia baru saja menelan kekalahan telak 5-1 dari Bayern Munchen pada laga uji coba di Stadion Gelora Bung Karno.

Bepe — begitu ia akrab disapa para penggemarnya — tak mau terlalu lama larut dalam sendu. Pagi itu juga, setelah mengguratkan beberapa catatan mengenai evaluasi pertandingan kontra Bayern, diraihnya koran pagi yang belum sempat terjamah penghuni rumah. Perhatian Bepe tersita oleh salah satu artikel di Jawa Pos yang memuat tentang dirinya. Artikel berjudul “Ramahnya Oliver Kahn, Arogannya Bambang Pamungkas” tersebut ditulis oleh Miftakhul Faham Syah, wartawan yang sejatinya merupakan kawan dekat Bepe sendiri. Isi tulisannya kurang lebih mengkomparasi sikap hangat Oliver Kahn, kiper Bayern Munchen dengan sikap acuh yang ditunjukkan Bepe ketika keduanya sedang berhadapan dengan para wartawan di area mixed zone Gelora Bung Karno.

 “Apakah saya tersinggung? Sama sekali tidak. Bahkan, jujur saya sangat mengapresiasi tulisan tersebut. Keesokan harinya saya pun menggunakan hak jawab dengan menulis artikel berjudul ‘Nilai 5’ di website pribadi saya. Tulisan itu berisi evaluasi saya dalam pertandingan melawan Bayern dan mengapa saya bersikap acuh kepada rekan-rekan wartawan di area mixed zone Gelora Bung Karno malam itu,” papar Bepe dalam salah satu pengantarnya.

Tanpa disadari, ada pelajaran berharga dari peristiwa di atas. Jika kita mau menggali lebih dalam, Miftakhul Faham Syah — si penulis artikel yang juga sering meliput kegiatan Timnas Indonesia — merupakan kawan yang memiliki kedekatan personal tersendiri dengan Bepe. Namun, kedekatan Miftah dan Bepe sama sekali tidak serta merta membuat objektivitas Miftah terhadap tulisannya terganggu. Ia tetap menulis apa yang ada dibenaknya, menempatkan Bepe sebagai pemain Timnas Indonesia — bukan sebagai rekan dalam kehidupan sehari-hari  serta mengkrtisi sebagaimana mestinya.

Begitulah karakter Miftakhul Faham Syah, atau yang akrab disapa dengan panggilan Fim. Ia jujur, berani, terbuka, dan apa adanya. Kejujuran dan keberanian Fim dapat kita rasakan ketika membaca buku pertamanya yang berjudul “Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut.” Dalam buku tersebut, Fim menyajikan cerita-cerita sepak bola tanah air dengan pembawaan yang ringan serta mudah dicerna. Lewat keterampilan teknik menulis, juga penguasaan kosa kata yang dimilikinya, Fim menuliskan semua isi kepalanya dengan kadar yang pas, tidak berlebihan, sekaligus tanpa mengurangi pasang surut emosi yang tak cukup berhasil ia sembunyikan.

Pada tulisan berjudul ‘Kostum’ misalnya, Fim mengisahkan pengalamannya seusai Timnas Indonesia U-19 memenangi pertandingan final AFF Cup U-19 kontra Vietnam. Fim yang berjumpa dengan Evan Dimas di ruang ganti stadion mencoba meminta jersey yang dikenakan kapten Timnas Indonesia tersebut. “Maaf mas, kausnya masih dipakai lagi,” begitu jawab Evan merespon permintaan Fim dengan nada ramah.

Jawaban polos Evan Dimas seolah menampar keras wajah persepakbolaan Indonesia. Evan menyadarkan kembali bahwa di tengah kemenangan Timnas U-19 malam itu, sejatinya persepakbolaan Indonesia masih belum benar-benar menang. Urusan kecil seperti persediaan kostum saja masih bermasalah dan serba terbatas. Lalu, ke mana larinya uang-uang dari pihak sponsor?

Momen singkat seperti di atas kemudian disajikan ulang oleh Fim dengan gaya kepenulisan yang otentik, tidak berlebihan, sekaligus kaya akan kesan. Rasanya tepat sekali jika buku ini diberi judul “Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut.” Judul tersebut merepresentasikan dengan baik dilema-dilema moral dan mental terkait dunia sepak bola Indonesia dari kacamata Fim sebagai seorang wartawan.

Seorang pencinta memang seringkali kehilangan kewarasannya. Dan, dengan gampang Fim memilih menjadi tidak waras ketimbang menghapuskan cintanya yang getir terhadap sepak bola Indonesia.


SHARE THIS

0 Comments: