Rabu, 06 Juli 2016

Membangun Generasi Muda Indonesia Cinta Maritim

Dok. internet

Berbicara tentang Indonesia sebagai sebuah negara, maka tidak dapat dipisahkkan status Indonesia sebagai sebuah Archipelagic state. Indonesia terdiri atas 17.504 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Konsep Archipelagic State ini telah muncul sejak Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957 dan dikukuhkan dengan keputusan The United Nation Convention on The Law of The Sea pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika.
Definisi konsep Archipelagic State sendiri tertuang dalam keputusan United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) bagian IV tentang Archipelagic States pasal 46. Archipelagic States sendiri adalah: “a State constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands.” Sedangkan, yang di maksud dengan Archipelago menurut pasal 46 UNCLOS adalah:
a group of islands, including parts of islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands, waters and other natural features form an intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically have been regarded as such.”
Dari dua definisi konsep tersebut, maka keberadaan Archipelagic states tidak terpisahkan dari bentuk geografis suatu wilayah yang membentuk suatu Archipelago. Dari dua konsep tersebut pulalah, seharusnya pembentukan mind set tentang keberadaan laut sebagai sebuah entitas pemersatu pada Republik Indonesia dapat terbentuk. Namun, pada kenyataannya saat ini laut masih di anggap sebagai pemisah Indonesia.
Dengan munculnya pemahaman tersebut, tentu timbul sebuah pemahaman yang salah kaprah tentang laut. Laut seharusnya merupakan sebuah entitas yang menjadi pemersatu Indonesia. Laut menjadi jembatan antar pulau, bukan pemisah antar pulau. Dan laut pulalah yang membentuk Indonesia sebagai sebuah entitas politik, yaitu sebuah negara. Maka, Adrian B. Lapian (2012) mengatakan bahwa paradigma tentang Indonesia yang benar adalah “negara laut yang ada pulau-pulaunya.”
Adanya pemahaman yang keliru tentang keberadaan laut di Indonesia tersebut tentunya menjadi hal yang ironis pada saat ini. Hal tersebut mengingat saat ini Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla sedang membangun kembali cita-cita Indonesia sebagai sebuah negara maritim yang kuat. Suatu cita-cita yang telah lama hilang di telinga masyarakat Indonesia.
Cita-cita Indonesia membangun sebuah kejayaan maritim sudah muncul sejak awal kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, Presiden Ir. Soekarno menggagas konsep poros maritim Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, konsep poros maritim tersebut lama kelamaan hilang. Pembagunan yang dilakukan pemerintah seakan-akan memunggungi laut dan laut pun teralienasikan.
Visi besar pemerintahan Jokowi – JK untuk membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia dilatarbelakangi oleh adanya perubahan trend ekonomi dunia yang bergeser dari barat ke Asia Timur. Selain itu, letak geografis Indonesia sebagai jalur lalu lintas perdagangan dunia yang menghubungkan dua benua (Asia dan Australia) juga melatarbelakangi pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia tersebut. Hal ini jika di garap serius maka dapat menjadi sebuah keuntungan bagi Indonesia, baik secara nasional maupun internasional. Dengan penegasan sebagai sebuah poros maritim dunia, Indonesia dapat melakukan kerjasama baik itu dalam lingkup regional maupun internasional untuk kemakmuran rakyat (Witular dalam The Jakarta Post, 2014).
Dalam menyukseskan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia tersebut, saat ini pemerintah telah melakukan pembangunan infrastruktur kemaritman. Dua di antaranya adalah pembangunan Terminal Teluk Lamong serta JIIPE (Java Integrated Industrial Port Estate). Pembangunan tersebut masing-masing dilakukan di Teluk Lamong, Surabaya serta di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Terminal Teluk Lamong merupakan terminal semi-automatic pertama di Indonesia serta JIIPE merupakan pembangunan komplek kawasan industri, deep sea port, serta perumahan di dalam satu kawasan. Proyek JIIPE dilaksanakan dengan kerja sama antara PT. AKR Corporindo serta PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) sebagai BUMN yang bergerak pada jasa operator kepelabuhanan.
Namun begitu, pembangunan infrastruktur maritim haruslah diimbangi dengan partisipasi masyarakat. Untuk itu, diperlukan sosialisasi pemahaman akan dunia maritim di masyarakat. Hal ini dilakukan agar masyarakat menyadari pentingnya laut sebagai alat integrasi bangsa. Selain itu, masyarakat juga perlu mengetahui tentang potensi maritim yang dimiliki Indonesia sehingga dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Pemerintah saat ini sangatlah gencar untuk mengembangkan budaya cinta maritim di masyarakat. Satu di antara upaya pemerintah adalah melalui pelaksanaan Ekspedisi Nusantara Jaya yang mengundang putra-putri terbaik bangsa untuk berlayar menggunakan Kapal Perang TNI AL ke pulau-pulau terpencil di Indonesia. Namun begitu, untuk lebih membumikan kembali kecintaan maritim kepada masyarakat diperlukan pula tindakan konkret tidak hanya oleh pemerintah, namun juga oleh pemerintah daerah serta organisasi-organisasi kemasyarakatan. Hal ini dilakukan tidak hanya di daerah-daerah yang dekat dengan laut saja, namun juga harus dilakukan secara menyeluruh di Indonesia.
Adanya upaya tersebut tentunya dilakukan dengan harapan agar masyarakat Indonesia dapat mengerti akan betapa penting dan potensialnya laut bagi bangsa Indonesia. Sudah saatnya bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia untuk tidak memunggungi laut lagi. Dengan begitu, diharapkan Indonesia dapat menjadi bangsa maritim yang besar dan bermartabat di masa depan. Jayalah Indonesia! Jayalah Maritimku! Jalesveva Jayamahe! Di Laut, Kita Jaya! (Arwin)

SHARE THIS

0 Comments: