Sabtu, 09 Juli 2016

Kenangan Klasik di Ruang Publik

Salah satu sudut Pasar Triwindu. (Dok.VISI/Fauzan)

“Wahai Para Dewa, jika cintaku pada Sinta terlarang, kenapa Engkau bangun begitu megah perasaan ini dalam sukmaku... Hancurkan! Hancurkan!,” kurang lebih begitulah amuk Rahwana kepada Sang Pencipta. Seumur hidup hingga detik ini, kita hanya mengagung-agungkan kisah romantis Rama dan Sinta sambil mengesampingkan perasaan murni si Dasamuka.

Di mata saya Rahwana adalah simbol kesetiaan yang paling utuh. Ia hanya mencintai satu wanita, Dewi Widowati namanya. Rahwana pun tahu betul bahwa cinta sejati tak bisa dipaksa, ketika kemudian ia merelakan kepergian sementara Widowati, yang ribuan tahun kemudian ter-reinkarnasi kembali dalam raga Dewi Sinta.

Kelegaan usai menunggu selama ribuan tahun rupanya bukan akhir yang dibenarkan untuk epilog hidup Rahwana. Oleh satu dari sekian banyak versi cerita Ramayana, usahanya dalam menjemput reinkarnasi sang pujaan hati disalah artikan sebagai tindak penculikan.

Pada akhirnya, Rahwana—setelah kematian tragisnya di tangan Rama—rela dibenci dunia dan diadili di mahkamah para dewa. Bahkan generasi kita di abad ke-21 pun juga turut mengutuknya, melengkapi namanya dengan predikat raksasa kejam yang demi kepuasan birahi tega merampas Sinta dari dekapan hangat Rama, sang pangeran berwajah tampan.

Banyak orang lupa, bahwa sejatinya semua hal di atas—secara  sadar dan disengaja—dilakukan Rahwana demi cintanya pada Widowati. Dan bukankah orang-orang pelupa itu pula yang sering menegaskan bahwa cinta tak boleh disalahkan?

Dari kesabaran ribuan tahun Rahwana, kita dapat belajar tentang kesetiaan. Dan dari kerelaan Rahwana, kita bisa belajar tentang arti suatu pengorbanan.

Siang itu (08/07/2016), kesetiaan serta kerelaan berkorban Rahwana seolah terlahir kembali dalam diri Rohmadi. Ketika saya menghampirinya di depan kios kecil berukuran kurang lebih 2x2 meter, pria kelahiran Karanganyar 49 tahun silam ini menyapa dan membalas dengan sumringah senyum saya yang seadanya.

Di Pasar Triwindu, Rohmadi memeras keringat dan waktu untuk berjuang menafkahi keluarga kecilnya. Ia menjaga barang-barang antik dan menawarkannya kepada para pengunjung pasar, sebagaimana Rahwana menjaga memori kuno Widowati dan menghadirkannya ke dalam ingatan Sinta. Nyaris sempurna, kesabaran Rahwana menunggu datangnya reinkarnasi Widowati pun tergambarkan dengan baik oleh kesabaran Rohmadi menunggu datangnya pengunjung yang ingin membeli dagangannya.

Rohmadi pun tahu, tidak semua yang berkunjung akan membeli dagangannya. Terkadang ada yang datang sekedar untuk melihat-lihat tanpa membeli. Namun—sekali lagi, seperti Rahwana—ia tetap bersabar.

“Berjualan barang antik memang untung-untungan. Yang datang untuk melihat-lihat saja pasti jumlahnya lebih banyak daripada yang akhirnya membeli. Itu saya sudah maklum,” tutur Rohmadi.

Rohmadi bukanlah satu-satunya reinkarnasi Rahwana. Di Triwindu, banyak Rahwana-Rahwana lain yang memiliki kesabaran dan pengorbanan sepertinya. Mereka semua menjual aneka ragam barang antik. Mulai dari cincin, lukisan, topeng, reklame-reklame tua, bahkan sepeda dan motor antik pun juga dijual di pasar yang terletak di daerah Ngarsopuro tersebut.

Tak seperti pasar yang menjual pakaian dan makanan, pasar penyedia barang antik memang cenderung lebih segmentatif dan kurang banyak dilirik. Hal ini agaknya memang wajar mengingat tidak semua lapisan masyarakat menggemari barang-barang antik. Hanya sebagian saja dan itu pun masih terbagi lagi ke dalam jenis-jenis tertentu. Ada yang hanya menggemari perkakas-perkakas antik, ada pula yang menggemari lukisan antik saja, dan seterusnya. Sangat jarang ditemui orang yang menggemari segala jenis barang antik.

“Sekalian nonton Festival Pasar Tradisi, saya datang ke sini sekaligus untuk mencari patung-patung wayang antik. Sudah lama saya tidak menambah koleksi-koleksi di rumah,” ungkap Ferdy (28), salah seorang pengunjung Pasar Triwindu.

Lain Fredy lain pula Ana (34). Wanita berkepala tiga yang tinggal di Sukoharjo ini mengajak suami dan dua orang anaknya kala mampir ke Triwindu siang itu. “Sekalian lihat Festival Pasar Tradisi sama keluarga, yang saya cari adalah gelas-gelas antik,” tutur Ana.

Siang itu intensitas pengunjung Triwindu kebetulan lebih ramai dari biasanya. Digelarnya upacara pembukaan Festival Pasar Tradisi pada pukul 14:00 WIB merupakan alasan utama di balik keramaian pasar yang sudah dibangun sejak tahun 1939 ini. Acara festival yang akan berlangsung selama 8-11 Juli 2016 diharapkan dapat meningatkan kembali geliat pasar-pasar tradisional di Solo, termasuk Pasar Triwindu.

Momen Pemotongan Tumpeng oleh beberapa pengurus Pasar Triwindu dan perwakilan panitia. (Dok.VISI/Fauzan)
Tak hanya menarik lebih banyak jumlah pengunjung, Festival Pasar Tradisi seolah menjadi ajang pemersatu para pedagang dan pengunjung Pasar Triwindu. Saya merasakan betul suasana kekeluargaan yang erat ketika para pedagang dan pengunjung bersama-sama menikmati makan siang berupa nasi kuning yang disediakan panitia.

Mereka semua menikmati makanan yang sama, dari tumpeng yang sama, bahkan jenis piring yang digunakan pun seragam. Aneh rasanya membayangkan bahwa para pedagang dan pengunjung yang sedang menikmati makan siang sambil ngobrol santai  ini sejatinya tidak saling kenal. Sekat-sekat pembatas status sosial seolah lenyap seketika.

Matahari nyaris tenggelam di sudut barat, ketika saya menyadari bahwa kemeriahan hari pertama Festival Pasar Tradisi sudah harus berakhir. Hangat dan cairnya suasana membuat saya seperti berada di mesin waktu, mempercepat setiap detik yang ada.

Masih ada waktu hingga beberapa hari mendatang untuk menikmati kebangkitan memori klasik di Triwindu. Berkunjunglah jika tidak ingin menyesal karena melewatkan wisata ke periode klasik Jawa. Hari esok akan selalu ada, namun esok yang sama tidak akan datang dua kali. (Fauzan)


SHARE THIS

0 Comments: