Senin, 09 November 2015

PHK Masih Menjamur, Siapkah Indonesia Hadapi MEA 2015?

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar yang ada di dunia dengan tingkat pengangguran yang dapat dikatakan masih cukup tinggi. Masalah ketenagakerjaan menjadi masalah yang tetap pelik selain masalah-masalah lain, walaupun kepala negara sudah berganti beberapa kali. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seolah menjadi hal yang lumrah untuk menjadi masalah bagi ketenagakerjaan di Indonesia setiap tahunnya. Padahal, di dalam setiap kampanyenya, calon-calon presiden yang mencalonkan diri dalam pemilu, tak bosan untuk selalu mengangkat “peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata” dalam setiap janji-janjinya. Lantas di mana perginya janji tersebut? Menjadi ironi, bahkan ketika para petinggi negara yang katanya bekerja keras demi kesejahteraan rakyat belum bisa untuk mengatasi masalah ini.
Beberapa waktu yang lalu pemberitaan mengenai PHK lagi-lagi menjadi satu topik yang tidak pernah absen untuk diberitakan oleh media. Yogyakarta merupakan salah satu kota yang tak luput dari pemberitaan ini. Jumlah karyawan di Yogya yang mengalami PHK pada 2015 meningkat ketimbang tahun sebelumnya. Data yang dihimpun dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnakertrans) Yogya menyebutkan rata-rata tiap bulan terdapat 27 karyawan dari dua perusahaan yang bergerak di bidang jasa dan pendidikan mengalami PHK.(Harian Jogja, 16/10/2015).
Mantan Presiden RI periode 2004 hingga 2014, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan pernah mengatakan bahwa Indonesia menganut tiga pilar ekonomi. Pertama, ekonomi untuk kesejahteraan. Kedua, demokrasi makin hidup tapi bermartabat, dan terakhir adalah keadilan yang menyeluruh, justice for all. Keadilan ekonomi dan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi, apakah ini yang dinamakan dengan bentuk keadilan ekonomi? Membiarkan para tenaga kerja kehilangan pekerjaan tanpa menghiraukan hak-haknya sebagai warga negara yang juga butuh kesejahteraan.
Visi Ekonomi Indonesia 2025 bahwa Indonesia yang maju dan mandiri, adil dan demokratis serta makmur bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dapat dipahami dengan salah satu butirnya adalah Indonesia yang maju dan mandiri adalah mendorong pembangunan yang menjamin pemerataan yang seluas-luasnya, didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, infrastruktur yang maju, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berwawasan lingkungan, serta didukung oleh pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Dengan arahan pendapatan per kapita pada 2025 mencapai sekitar US$6.000 dengan tingkat pemerataan yang relatif baik dan jumlah penduduk miskin tidak lebih dari 5 persen. (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2011:39).
Berkaca dari Visi Ekonomi Indonesia 2025 tersebut, seharusnya pemerintahan yang baru, paling tidak “menyicil” untuk menggarap pekerjaan rumah yang diberikan oleh pemerintahan sebelumnya khususnya dalam hal meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang lama untuk mencapai target-target yang telah direncanakan bagi kemajuan perekonomian di Indonesia, jika masalah ketenagakerjaan semacam PHK pun belum mampu untuk ditangani.
Akhir tahun 2015 nanti menjadi puncak di mana Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) digencar-gencarkan akan mulai diberlakukan. MEA sendiri adalah istilah bagi pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara bentukan para pemimpin Asean satu dekade yang lalu. Hal ini dilakukan agar daya saing Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan (BBC Indonesia, 27/08/2015).
Namun, pada kenyataannya persiapan pemerintah untuk menghadapi MEA masih kurang. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Akhmad Heri Firdaus menilai persiapan yang dilakukan pemerintah untuk menghadapi MEA pada 2015 masih di bawah 50 persen. Kurangnya persiapan tersebut dimulai dari sosialisasi, tenaga kerja, logistik hingga infrastruktur (Republika Online, 29/04/2014). Jika untuk menghadapi MEA saja pemerintah belum sepenuhnya siap, lantas bagaimana pemerintah akan menentukan sikap terhadap kurangnya kesejahteraan bagi tenaga kerja di Indonesia?
Dalam rangka menghadapi MEA, pemerintah diharapkan mampu melakukan pengawasan dan antisipasi agar masyarakat Indonesia dapat bersaing di pasar global. Pengawasan itu dapat diaplikasikan dalam bentuk dua kebijakan strategis untuk melindungi nasib tenaga kerja Indonesia dan perekonomian negara. Pertama, pemerintah perlu untuk membuat regulasi yang berpihak kepada pekerja lokal. Dan yang kedua, pemerintah harusnya membuka lapangan kerja bukan berdasarkan prasyarat dari investor yang justru lebih menguntungkan pihak asing. Karena, jika idealnya para tenaga kerja asing bekerja di Indonesia dalam kurun  waktu enam bulan, pada kenyataannya di dalam lapangan kerap kali melebihi waktu tersebut, bahkan hingga dua tahun lamanya. Jika sudah begini, jangan salahkan jika nantinya banyak demonstrasi buruh yang menuntut haknya. Dan lagi-lagi, hari buruh pun akan diperingati dengan cara yang sama seperti – banjir demo buruh -setiap tahunnya.
Kondisi perekonomian Indonesia yang lebih sering mengalami penurunan dari pada peningkatan harusnya tak hanya jadi sekedar “tontonan” bagi pemerintah, yang hanya akan menjadi perhatian sementara dan akan menguap tanpa penyelesaian begitu saja. Namun juga diperlukan penanganan yang nyata bagi para tenaga kerja yang belum terpenuhi hak-haknya. Sehingga, apa yang menjadi harapan oleh semua rakyat tak hanya sekedar harapan. Apa yang menjadi janji oleh para petinggi negara, tak hanya sekedar bualan belaka yang memupuskan harapan-harapan rakyat yang menaruh kepercayaan. (Salma Fenti Irlanda)



SHARE THIS

0 Comments: