Selasa, 05 November 2013

Rindu Kota Bersih



Oleh: R. Ahmad Reiza M
Dok. Internet
   Setahun lalu, ketika saya menapakkan kaki di Solo, yang terucap dari mulutku: Subhanallah dan Astaghfirullah. Ekspresi takjub dengan budaya Jawa Tengah, khususnya Solo, yang istimewa dan miris dengan kesadaran atas kebersihan. Adanya antusiasme dan apresiasi budaya di Solo dibandingkan tempat tinggal saya dulu membuat takjub sekaligus iri. Dan satu lagi, makanan yang beraneka ragam dan murah! Setidaknya bagi lidah saya yang cocok dengan makanan di Solo. Bagi seorang mahasiswa, wajib hukumnya untuk mudeng makanan-makanan enak tapi murah. Walau demikian, berbagai kata tanda takjub tidak akan berarti apabila ada yang menjegal. Ya, soal kebersihan. Mungkin saya seperti membuat perbandingan, sebenarnya tidak. Hanya sekadar beberapa patah kata, tanda rasa miris saya terhadap kebersihan kota ini.

   Tahu pulau Kalimantan yang sebagian besar isinya adalah hutan melulu? Tahu Kalimantan Timur (Kaltim), yang sebagian wilayahnya dulu, pada saat ini sudah terpisah menjadi Kalimantan Utara? Tahu Balikpapan, disebut juga Kota Minyak, yang katanya memiliki living-cost tertinggi dan disebut-sebut kota termahal se-Indonesia? Bahkan sekitar 32% lebih mahal daripada di Jakarta. Tahu Balikpapan yang kotanya gelap karena di balik sebuah papan? Yang barusan tadi saya bercanda, dan sisanya benar. Saya tahu, itu tanggapan orang-orang yang memiliki selera humor. Jelas saya tidak akan marah, sekadar nama kota bentukan para transmigran Jawa, Bugis dan Banjar semasa penjajahan Belanda yang memiliki cerita di baliknya. Beberapa orang bercerita bahwa ada seorang puteri kecil dari suatu kerajaan yang terdampar setelah terombang-ambing di atas sebilah papan. Tak hanya satu versi, namun beda sumber, lain cerita.
   Kalau sedang ‘sombong’, mungkin saya mengatakan, “Makan yuk, tapi dimana? Nanti tak traktir!”. Murah sih, karena sudah terbiasa makanan porsi kurang banyak dengan harga selangit. Di Solo, sekitar Rp25.000,00 sudah dapat enak dan kenyang, termasuk minuman. Di Balikpapan? Harus merogoh kocek lebih dalam. Setidaknya Rp50.000,00 sudah membuat diri cukup kenyang di restoran pinggir jalan. Apalagi sekarang harga sembako sudah melonjak, pasti lebih mahal lagi.
   Tak hanya soal makanan murah-meriah-tapi-enak, budaya Jawa yang istimewa juga membuat saya takjub sekaligus iri. Di Balikpapan, bisa dikatakan jarang ada event berbasis kebudayaan daerah. Solo? Menurut saya, jauh lebih banyak. Namun saya yakin, budaya di Kaltim tidak kalah bagusnya dengan di Jawa. Tapi memang, apresiasi budaya daerah di Balikpapan bukanlah prioritas tertinggi, sebab Balikpapan sendiri bukanlah kota yang memiliki budaya asli.
   Dan akhirnya, soal kebersihan. Bagi saya, kebersihan adalah prioritas dalam lingkungan hidup. Entah mengapa, acapkali saya melintasi kota (saya tinggal di pinggiran Sukoharjo), ada saja yang membuang sampah di sembarang tempat. Mungkin sampah seperti bungkus permen atau gelas minuman, bagi beberapa orang yang tidak peka akan kebersihan, dianggap biasa. Bagi saya, jalanan dan selokan itu terlalu berharga untuk dipenuhi sampah sekecil apapun. Bahkan beberapa hari yang lalu, dengan mata saya sendiri, di depan saya seorang anak yang dibonceng ayahnya membuang sampah sebesar kantong plastik di sungai. Menjijikkan. Mungkin mereka belum pernah merasakan banjir akibat sungai atau selokan mampet karena sampah.
   Bukannya saya tegas soal kebersihan karena saya pernah kebanjiran akibat saluran air yang mampet, namun pertanggungjawaban manusia atas lingkungannya sendiri. Apabila lingkungan yang kotor, bagaimana manusia bisa hidup dengan sehat? Balikpapan termasuk kota terbersih di Indonesia. Bukan karena mudah dibersihkan. Bukan juga karena living cost yang tinggi. Namun rasa tanggung jawab atas kebersihan lingkungan. Cukup banyak program tentang kebersihan yang diterapkan di Balikpapan. Di sekolah-sekolah, mata pelajaran Pendidikan Kebersihan dan Lingkungan Hidup (PKLH). Beberapa sekolah di antaranya juga menegaskan aturan mengenai kebersihan di sekolah. Adapun peraturan daerah (Perda) Kota Balikpapan no. 10 tahun 2004 tentang Pengelolaan Persampahan. Sekitar tahun 2006-2007, setelah sosialisasi selama 2 tahun, mulai diterapkan dan dilakukan razia tempat sampah bagi kendaraan umum maupun pribadi. Denda pun tidak sekadar ada hanya karena sebagai komponen peraturan, namun diterapkan secara tegas. Saat saya masih bersekolah di sana, beberapa kali melihat ada razia tempat sampah dalam kendaraan. ‘Pasukan Kuning’ di Balikpapan juga diberdayakan, sehingga kebersihan juga tetap terjaga. Beberapa kali Balikpapan meraih Adipura, dan tahun 2013 ini, Adipura Kencana tercapai sesuai yang dicanangkan tahun sebelumnya.
  Sebuah peraturan yang diterapkan secara tegas dan kontinyu, akan menjadi sebuah habit yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Memang, pada faktanya masih ada orang-orang jahil yang membuang sampah sembarangan. Di Balikpapan saja bisa, apalagi Solo. Kalau Singapore, beda lagi. Tingkat kesadaran mereka jauh di atas kita.
  Sebenarnya kota Solo termasuk rapi dan bersih, jika dilihat dari jalan Slamet Riyadi saja. Mungkin saja karena sistem penataan kota Solo sudah diatur oleh Belanda dahulu membuat masyarakat jahil tersebut tidak tahu diri dan tidak peduli. Retribusi naik, tapi jika tidak diimbangi kesadaran akan kebersihan, jelas percuma. Balikpapan saja yang tatanan kotanya ruwet dan sulit dibenahi saja bisa, apalagi Solo. Apa perlu dijajah kembali? Tidak perlu. Setidaknya menanamkan kemauan untuk membenahi diri dan rasa tanggung jawab atas lingkungan pada diri masyarakat Solo yang masih senang menelantarkan sampah. Kalau perlu, diadakan peraturan sejenis Perda Kota Balikpapan no. 10 tentang Pengelolaan Persampahan.
  Bukan membanding-bandingkan, hanya rindu pada kota bersih. Mari wujudkan Indonesia yang bersih. Tidak hanya Solo, tetapi juga seluruh Indonesia!



SHARE THIS

0 Comments: