Sabtu, 13 Desember 2008

Membaca Kota dalam Komik

Oleh : Nur Heni Widyastuti*

Hampir lima belas tahun saya hidup di “lingkungan rumah yang sama” dan belum pernah pindah sejak saya bersekolah di taman kanak-kanak. Sebelumnya memang berpindah pindah, tapi kala itu saya masih terlalu dini untuk mengerti apa itu bersosialisasi. Setelah saya menyadari akan hal itu, yang sering mengalami perubahan adalah “lingkungan sekolah” dimana saya menimba ilmu, itupun masih dalam ”lingkungan kota yang sama”. Atau kalaupun pergi mengunjungi sanak keluarga masih dalam “lingkungan provinsi yang sama pula”. Namun, bukan berarti saya tidak pernah “kaluar” kemana-mana, hanya saja, mobilitas keluar dari kota tempat saya tibggal, presentasinya masih sangat terbatas jika dibandingkan dominasi “tetap di lingkungan yang sama”.Dalam organisasi yang saya ikuti (LPM VISI FISIP UNS), sering sekali diadakan pemetaan permasalahan-permasalahan yang ada di kota ini, untuk dituangkan dalam sebuah terbitan (Majalah VISI). Walaupun saya sudah lama tinggal di sini, namun saya merasa (mungkin barangkali hanya saya) kurang bisa “membacanya” secara mendalam. Sebenarnya telah banyak pemberitaan, seminar atau penerbitan buku yang diselenggarakan oleh sastrawan, budayawan, lembaga atau instansi-instansi tersentu, yang kesemuanya pasti sangat menarik. Sampai suatu ketika saya menemukan sebuah skripsi yang berjudul “Ruang Publik Perkotaan dalam Komik (Studi Semiotik Representasi Ruang Publik Perkotaan dalam Jogja in Comic)”. Dari situ saya baru menyadari bahwa saya kurang pandai dalam “membaca kota” walaupun saya telah lama tinggal di sana. Dan ternyata ada sebuah media yang lebih menarik untuk membaca kota. Yakni komik.

Saya memang bukan penikmat komik. Saya lebih memilih membaca prosa (tulisan panjang dalam bentuk apapun) daripada pusing mengamati gambar berskat-skat. Terlebih, komik-komik yang ada sekarang (menurut saya) didominasi oleh komik “kekanakan”, walaupun mengangkat “tema orang dewasa”. Tetapi bukan berarti saya menggeneralisasi semuanya, ada juga komik sastra, komik pendidikan politik, atau komik lain yang mengandung unsur edukasi.

Bagi saya yang mengganggap “menggambar itu sulit”, pembuatan komik yang mengangkat tema “berat” merupakan karya yang luar biasa. Saya melihat itu dalam komik-komik yang ada dalam buku Jogja in Comic (walau saya hanya melihat sketnya dan alur ceritanya di internet dan belum membaca semuanya). Dengan imajinasi yang mendekati realita dan alur cerita ringan, membuat pembacaan terhadap kota Jogja menjadi lebih menarik.

Berikut saya cuplikkan sedikit kata pengantar dari St Sunardi** (Ketua Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) yang juga memberikan sambutan dalam Jogja In Comic Exhibition 19 November 2006 silam. 

Ruang Publik Boleh Langka, Asal Jangan Ruang Komik

Buku Jogja in Comic merupakan kumpulan lima karya komik terbaik dari Kompetisi Komik yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta pada awal 2006. Komik pertama, “Gobak Sodor Sawijining Komik” menggambarkan rasa frustrasi anak-anak karena ruang ruang bermainnya semakin menyempit, kalau bukan lenyap. Dalam “Kota Seni”, komik kedua, dilukiskan seorang tukang bakso yang ternyata lebih melek seni daripada seorang mahasiswa yang tidak tahu apa yang dilakukan untuk mengisi waktu kosongnya kecuali sibuk membaca buku porno. Komik ketiga, “Marini, Masih Ada Jathilan Yang Lewat”, berisi cerita tentang orang yang sudah terasing dengan seni-seni tradisional. “Selamat Datang di Kota Revolusi”, komik keempat, melukiskan sejarah heroisme Kota Jogja sambil menunjukkan seakan-akan orang-orang Jogja sudah bebas dari penjajah padahal belum. Komik terakhir yang berjudul “Brondoyudo Manyun Binangun” (Plesetan dari Barata Yuda Jaya Binangun) memperlihatkan sisi lain dari Yogyakarta: konflik antar “gang” di Malioboro untuk memperebutkan lahan.

Persoalan ruang bermain anak, kedudukan Jogja yang merana sebagai kota seni, keterasingan orang jaman sekarang dengan seni-seni tradisional, krisis herorisme jaman sekarang, dan keruwetan Malioboro – semuanya bukanlah isu baru, semuanya sudah banyak dibicarakan entah di media, di ruang-ruang seminar, dalam kampanye pilkada, maupun di obrolan ringan di berbagai tempat. Kalau tema-tema itu muncul lagi dalam kumpulan komik ini, hal itu menunjukkan bahwa persoalan-persoalan tersebut memang menjadi persoalan nyata. Isu-isu diangkat kembali lewat medium komik. Hasilnya? Ada nuansa baru. Suasana gemas sangat dominan.

Suasana ini pertama-tama kita rasakan lewat ilustrasi daripada pesan tekstual. Trotoar untuk pejalan kaki sudah diserobot untuk kendaraan bermotor, hiruk pikuk biennal dan events kesenian lainnya ternyata belum berhasil menggugah warga untuk melek seni, Malioboro yang disediakan sebagai wilayah untuk rileks ternyata dikotak-kotak oleh kekuatan-kuatan invisible, dan sebagainya. Dalam perasaan gemas ini para kontributor buku ini mencoba untuk bersikap comical, mengambil jarak, menghela nafas. Jenis komunikasi inilah kiranya yang bisa kita apresiasi dari kehadiran kumpulan komik tentang Jogja….. (dst)

Ada pula kumpulan komik yang berjudul “Jogja, 5,9 skala richter”*** komik yang memuat 18 judul komik. Didalamnya memuat bagaimana para pembuat komik ini membingkai kisah-kisah yang berkaitan dengan gempa Jogja mei 2006 silam. 

Keunggulan dari pembacaan kota melalui komik adalah dalam hal imajinasi dan alur plot yang mungkin hasil karangan pembuat. Berbeda dengan prosa (baik yang sastra ataupun berita) yang mengingnkan pembacaan itu secara nyata. Namun ada keinginan yang sama, yakni realitas tentang kota mereka dan pesan yang ingin disampaikan sampai kepada pembaca, walau dengan medium yang berbeda.


* Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2005, salah satu pengurus LPM VISI FISIP UNS.

** http://yulibean.multiply.com/journal/item/18/JOGJA_IN_COMIC_EXHIBITION
*** http://martabakomikita.multiply.com/journal/item/94/INFOTAMU_Launching_Komik_Jogja_59_Skala_Richter)


SHARE THIS

0 Comments: