oleh Ana Nadhya Abrar*
Klarifikasi istilah
Terdapat banyak istilah yang menggunakan kata “jurnalisme”. Setiap istilah tersebut mengandung konsep. Maka bagi para mahasiswa yang sedang menekuni jurnalisme, yang perlu diperhatikan sebenarnya adalah konsep yang dikandung oleh istilah tersebut. Kalau konsepnya tidak jelas, lebih baik mereka tidak menggunakan istilah tersebut.
Dalam buku pintar tentang jurnalisme, misalnya The Elements of Journalism (terbit tahun 2001) dan Key Concept in Journalism Studies (terbit tahun 2005), belum ada istilah “citizen journalism”. Yang tercatat adalah istilah “civic journalism” yang sering dipertukarkan dengan istilah “public journalism”. Padahal gerakan “citizen journalism’, menurut Wikipedia, telah muncul pada peliputan kampanye Presiden Amerika Serikat tahun 1988.
Tidak ada yang tahu secara persis mengapa istilah “citizen journalism” tidak masuk ke dalam buku pintar tentang jurnalisme. Hanya saja, akal sehat akan mengatakan: bila “citizen journalism” memang merupakan jurnalisme khusus, tentu ia akan menghiasi buku pintar jurnalisme. Apalagi ia sudah dipraktekkan sejak tahun 1988!
Lepas dari posisinya, “citizen journalism”, menurut Wikipedia, merupakan “public journalism” atau “participatory journalism”. Ia berarti “the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing and disseminating news and information” (Wikipedia, 2008:1). Ini memperlihatkan bahwa “citizen journalism” (selanjutnya disebut jurnalisme warga) merupakan jurnalisme yang dipraktekkan oleh warga masyarakat yang selama ini hanya menjadi masyarakat media.
Persoalan yang kemudian muncul adalah, media apa yang dipakai warga untuk menyiarkan informasi yang mereka peroleh lewat praktek jurnalisme warga? Pertanyaan ini masuk akal mengingat informasi yang diperoleh lewat jurnalisme warga tidak akan berdaya guna bila tidak disiarkan. Banyak ahli, seperti Mark Glasser dan J.D. Lassica, mengatakan bahwa media yang paling efektif untuk menyiarkan berita yang diperoleh lewat jurnalisme warga adalah internet dengan segala sumber daya yang ada di dalamnya, mulai dari e-mail hingga blog (Wikipedia, 2008:3). Bertolak dari sini, sesungguhnya jurnalisme warga tersebut mengacu kepada online journalism.
Dalam pada itu, TOR seminar ini, dengan mengutip pendapat Steve Outing, meneguhkan bahwa media yang dipakai untuk memuat informasi yang diperoleh lewat jurnalisme warga adalah internet (TOR, 2008:1). Ini meneguhkan bahwa jurnalisme warga yang dimaksud oleh Panitia Seminar lebih dekat kepada jurnalisme online daripada jurnalisme publik. Berdasarkan pemahaman inilah uraian berikut saya tulis.
Bukan “barang” baru
Tahun 2003, saya menerbitkan sebuah buku berjudul Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Dalam buku ini, pada halaman 47 saya menulis antara lain:
“Sesungguhnya jurnalisme online lahir tanggal 19 Januari 1998, ketika Mark Drudge membeberkan cerita perselingkuhan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dengan Monica Lewinsky atau yang disebut “monicagate” (Grossman, 1999:17). Ketika itu, Drudge, berbekal sebuah laptop dan modem, menyiarkan berita tentang “monicagate” lewat internet. Semua orang yang menerima kiriman berita tersebut mengetahui rincian cerita “monicagate”.
Berpangkal pada kenyataan di atas, jurnalisme online itu seolah-olah bukan jurnalisme. Jonathan Dube, seorang wartawan jurnalisme online, bahkan merasakan bahwa jurnalisme online tidak seseru jurnalisme biasa (1999: 37). Ini terasa logis. Sebab, orang yang tidak memiliki keterampilan jurnalisitik yang memadaipun bisa bercerita lewat jurnalisme online. Orang yang tidak mengenal seluk-beluk jurnalisme biasa pun bisa menyampaikan idenya kepada orang-orang di berbagai belahan bumi melalui internet.
Kenyataan ini menyiratkan bahwa jurnalisme warga bisa dipraktekkan oleh siapa saja yang memiliki informasi dan ingin menyampaikannya kepada orang lain. Mereka yang selama ini menjadi konsumen berita mendadak bisa jadi produsen berita. Mereka yang selama ini tidak pernah punya pengalaman dan pengetahuan tentang jurnalisme bisa langsung mempraktekkan jurnalisme warga. Yang penting dia punya informasi yang akan disampaikan, punya juga fasilitas untuk menyampaikannya dan sudi membagikan informasi tersebut kepada orang lain.
Di samping itu, jurnalisme warga memiliki beberapa keuntungan, antara lain: (i) Audience Control. Masyarakat bisa lebih leluasa memilih berita yang ingin mereka peroleh; (ii) Nonlienarity. Memungkinkan setiao berita yang disampaikan dapat berdiri sendiri sehingga masyarakat tidak harus membaca secara berurutan untuk memahaminya; (iii) Storage and retrieval. Berita bisa disimpan dan kelak bisa diakses kembali dengan mudah oleh masyarakat; (iv) Unlimited Space. Berita yang disampaikan kepada masyarakat bisa menjadi jauh lebih lengkap ketimbang media lainnya; (v) Immediacy. Berita bisa segera disampaikan secara langsung kepada masyarakat; (vi) Multimedia Capability. Memungkinkan pelaku jurnalisme warga menyertakan teks, suara, gambar, video dan komponen lainnya di dalam berita yang akan diterima oleh masyarakat; dan (vii) Interactivity. Mengundang peningkatan partisipasi masyarakat dalam setiap berita.
Dalam posisi seperti ini, sesungguhnya pelaku jurnalisme warga tidak usah bingung mempertimbangkan etika jurnalistik, objektivitas, akurasi berita dan sebagainya. Bukankah mereka merupakan orang-orang yang menafikan pelembagaan profesionalisme jurnalistik? Bukankah mereka berniat melawan kemapanan jurnalisme as usual yang dipraktekkan media pers mainstream? Justru “kebebasan” itulah yang menjadi tumpuan perkembangan jurnalisme warga!
Tidak menyembunyikan informasi
Sesungguhnya jurnalisme warga memberikan kemudahan bagi pelakunya maupun masyarakatnya untuk membuat peralihan waktu penerbitan, pengaksesan dan jumlah berita yang disampaikan. Pelaku jurnalisme warga bisa menerbitkan maupun mengarsip artikel-artikel yang bisa dilihat saat ini maupun nanti. Memang hal ini bisa juga dilakukan oleh pelaku jurnalisme konvensional, tetapi jurnalisme warga dilakukan dengan lebih mudah dan cepat, yaitu pada satu waktu tertentu. Sedangkan pada jurnalisme konvensional, pelakunya membutuhkan waktu lebih lama dan space yang terbatas.
Selain kenyataan di atas, produk informasi jurnalisme warga yang diterima masyarakatnya sangat ditentukan oleh preferensi yang disusun dan dimiliki oleh masyarakatnya. Kalau masyarakat punya perangkat yang lebih canggih, maka informasi yang diterima juga akan lebih menarik. Tegasnya, tampilan produk informasi jurnalisme warga bisa berbeda-beda pada masing-masing masyarakat. Ini jelas berbeda dengan produk informasi yang dihasilkan jurnalisme konvensional, yang diterima sama oleh semua masyarakatnya.
Berdasarkan keterangan tentang kelebihan jurnalisme warga di atas, masyarakat jadi punya kesempatan lebih luas untuk memperoleh informasi. Setiap individu bisa menceritakan sebuah kejadian secara gamblang, tanpa khawatir harus dituntut. Masyarakat pun jadi mengetahui berbagai realitas sosial. Pada titik inilah sebenarnya kita mengatakan bahwa jurnalisme warga tidak menyembunyikan informasi.
Kendati begitu, masyarakat harus bisa menyaring berita yang dihasilkan oleh jurnalisme warga. Mereka harus kritis dan skeptis terhadap segala berita yang disiarkan jurnalisme warga. Kalau tidak, mereka bisa mengalami kecemasan informasi (information anxiety).
Berawal dari reformasi persReformasi pers Indonesia mencapai puncaknya tanggal 23 September 1999, ketika Presiden Indonesia ketika itu, B.J. Habibie, mengesahkan UU No. 40 Tahun 1999. Inilah UU Pers pertama di Indonesia yang menjamin kemerdekaan pers di Indonesia. Pasal 4 Ayat 1 UU tersebut menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Pasal 5 Ayat 1 UU ini malah menyatakan bahwa pers Indonesia wajib memberitakan peristiwa dan pendapat dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Kalau nasihat ini sudah dipatuhi oleh pers Indonesia, maka sesungguhnya pers Indonesia sudah dapat disebut berusaha menghormati hak-hak asasi manusia.
Pengganti B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, melanjutkan reformasi pers Indonesia. Dia membubarkan Departemen Penerangan bulan November 1999. Pembubaran Departemen Penerangan ini membawa satu konsekuensi yang tidak pernah dibayangkan insan pers Indonesia selama ini: tidak ada lagi lembaga pemerintah yang mengawal kehidupan surat kabar Indonesia. Kalau mengacu pada teori pers, sesungguhnya apa yang dilakukan Abdurrahman Wahid adalah mempraktikkan teori media “democratic participant”. Menurut teori ini, pers tidak boleh tunduk pada pengendalian pemerintah dan kelompok atau organisasi masyarakat lokal boleh memiliki surat kabar sendiri (McQuail, 1994:132).
Mungkin saja Abdurrahman Wahid tidak pernah mengenal teori media “democratic participant”. Tetapi, keputusannya untuk membubarkan Departemen Penerangan memperlihatkan keinginannya untuk menciptakan masyarakat yang lebih demokratis. Betapa tidak, siapa saja bisa menerbitkan surat kabar. Surat kabar Indonesia yang berskala kecil, tetapi interaktif dan partisipatif bisa lahir. Ini, tentu saja, menguntungkan masyarakat. Keperluan informasi masyarakat, baik kelompok mayoritas dan minoritas, akan terlayani oleh surat kabar Indonesia.
Agaknya pasca diundangkannya UU Pers No.40/1999 dan dibubarkannya Departemen Peneranganlah yang membuat masyarakat bebas mempraktekkan jurnalisme warga. Sebab pasca kedua kejadian itulah, masyarakat bebas menerbitkan media pers. Kebebasan ini, menurut akal sehat, akan mengundang kebebasan juga untuk mempraktekkan jurnalisme warga. Tapi, kapan persisnya jurnalisme warga mulai berkembang di Indonesia, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, kini jurnalisme sudah menjadi salah satu alternatif pilihan di Indonesia.
Menciptakan alternatif pilihan pemberdayaan masyarakat
Di atas sudah disebutkan bahwa jurnalisme warga memberikan peluang yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh informasi. Masyarakat juga punya pilihan informasi yang semakin beragam. Itulah sebabnya jurnalisme warga punya potensi untuk: (i) menyediakan informasi publik untuk penguatan civil society?; (ii) memfasilitasi diskusi politik; dan (iii) membangun data base untuk kepentingan pendidikan politik publik. Kalau ini benar-benar terjadi, maka sesungguhnya jurnalisme warga sudah menciptakan alternatif pilihan bagi masyarakat untuk memberdayakan mereka.
Agar potensi tersebut benar-benar terwujud, jurnalisme warga perlu memperhatikan tiga perkara berikut. Pertama, menyiarkan informasi publik. Informasi publik sesungguhnya mengandung isu publik. Isu publik sendiri, seperti ditulis Ashadi Siregar, adalah informasi tentang masalah yang berasal dari masyarakat dan respons masyarakat terhadap kekuasaan umum dan kekuasaan negara pada umumnya (2003:xviii). Respons terhadap kekuasaan negara, seperti ditulis C Steinberg adalah respons masyarakat terhadap segala informasi tentang kegiatan berbagai departemen yang ada dalam pemerintahan (McNair, 2003:157).
Kedua, menyiarkan pertukaran pikiran antara komponen yang terdapat dalam masyarakat. Dalam konteks ini, jurnalisme warga seolah-olah menjadi forum yang memberikan kesempatan pada masyarakat untuk bertukar pikiran, bahkan kalau perlu bersilang pendapat, mengenai berbagai masalah yang menyangkut kepentingan publik.
Ketiga, menciptakan proses perubahan sikap dan perilaku individu dalam usaha memberdayakan dirinya dalam bidang politik. Politik mengacu pada pendapat Immanuel Kant, yang mengatakan bahwa pelaksana kekuasaan, baik legislatif, eksekutif dan yudikatif harus tunduk pada hukum. Pelaksaan ketiga kekuasaan tersebut hendaklah terkait dengan pengembangan kerangka kerja hukum yang menjadikan setiap individu menjalani hidup bermoral sebagai pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan (Dalam Sihotang, 2002:33-34). Maka proses perubahan sikap tersebut mengacu pada pelaksanaan kekuasaan berdasarkan hukum dan menjadikan mereka hidup bermoral sebagai pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan.
Bisakah jurnalisme warga memenuhi ketiga kriteria ini? Entahlah! Yang jelas saya belum punya data penelitian tentang itu. Tetapi, menurut hasil penelitian yang dilakukan Ariska Setyawati (2007: 109), surat kabar elektronik (SKE) di Indonesia bisa memperkuat civil society secara bulat dan tidak utuh. Hasil analisis terhadap data yang dikumpulkannya melalui rubrik Opini di Detik.com dan di Okezone.com serta rubrik Surat Pembaca di Kompas.com dalam kurun waktu 17 Agustus hingga 16 September 2007 memperlihatkan: (i) ketiga SKE terteliti tidak menyediakan banyak isu publik dalam rubrik yang mereka ciptakan untuk publik. Semua isu publik ini tidak direspons oleh publik yang lain, sehingga forum diskusi tidak ada; (ii) ketiga SKE terteliti tidak memiliki data base tentang semua opini dan surat pembaca yang pernah mereka siarkan. Akibatnya, publik tidak bisa mengakses informasi tersebut, katakanlah, setahun setelah informasi tersebut disiarkan. Dengan kondisi seperti ini ketiga SKE terteliti tidak bisa memperkuat civil society.
Kendati begitu, ketiga SKE terteliti memfasilitasi diskusi publik dalam rubrik opini dan surat pembaca yang mereka miliki. Ini menunjukkan bahwa mereka ingin publik memperoleh informasi yang bisa dipakai untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Informasi ini akan membentuk pemahaman yang baik mengenai pilihan atau tawaran politik. Pemahaman ini, selanjutnya, akan menaikkan posisi tawar publik dengan negara dan pengusaha. Dalam konteks ini, ketiga SKE terteliti bisa memperkuat civil society.
Catatan akhir
Mengikuti uraian di atas, jurnalisme warga, setidaknya, mengandung empat nilai esensial, yaitu: (i) bisa dilakukan oleh siapa saja yang ingin menyampaikan informasi yang dimilikinya kepada masyarakat tanpa harus memiliki keterampilan jurnalistik yang memadai; (ii) sebaiknya menggunakan sumber daya internet untuk menciptakan efisiensi pelaksanaannya; (iii) mampu membeberkan segala informasi yang penting, relevan dan bermanfaat buat masyarakat; dan (iv) menciptakan alternatif pilihan untuk memberdayakan masyarakat.
Kalau kemudian Panitia Seminar mempertanyakan apakah jurnalisme warga menjadi ancaman bagi media massa, maka jawabannya tegas: tidak dan tidak akan pernah. Sebab, tidak semua individu betah mengakses berita yang diproduksi oleh jurnalisme warga. Bagi mereka yang tidak kritis dan skeptis terhadap informasi yang dihasilkan jurnalisme warga, mengakses media massa akan terasa lebih nyaman. Lebih dari itu masyarakat yang mengakses media massa punya karakteristik yang berbeda dengan mereka yang mengakses berita yang dihasilkan jurnalisme warga.
Lalu, pesan apa yang dikandung jurnalisme warga? Pesannya singkat saja: jurnalisme warga melengkapi jurnalisme konvensional yang dipraktekkan media massa.***
Referensi
Abrar, Ana Nadhya. 2003. Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Lesfi.
Franklin, Bob, Hamer, Martin, Hanna, Mark, Kinsey, Marie adn Richardson, John E. 2005. Key Concepts in Journalism Studies. London: Sage Publications.
Kovach, Bill and Rosenstiel, Tom. 2001. The Elements of Journalism. New York: Three Rivers Press.
Lembaga Pers Mahasiswa FISIP UNS. 2008. TOR Seminar Nasional.
McNair, Brian. 2003. An Introduction To Political Communication. London, New York: Routledge.
McQuail, Dennis. 1994. Mass Communication Theory: An Introduction, third edition. London: Sage Publications.
Setyawati, Ariska. 2007. Penguatan Civil Society Melalui Surat Kabar Elektronik. Penelitian Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jakarta: Depkominfo.
Sihotang, Kasdin. 2002. “Etika Politik Menurut Perspektif Immanuel Kant”. Dalam Respons, Jurnal Etika Sosial, Volume 7, Nomor 01-Juli 2002. Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Siregar, Ashadi. 2003. “Pengantar”. Dalam Tim Redaksi LP3ES, Politik Editorial Media Indonesia: Analisis Tajuk Rencana 1998-2001. Jakarta: LP3ES.
Internet
Google http://www.google.com/Jurnalisme Online-Kiat Jurnalisme (online).htm, diakses tanggal 12 Juni 2007.
Wikipedia http://en.wikipedia.or/wiki/Citizen_journalism, diakses 19 Februari 2008.
*Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi UGM
(Tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Jurnalisme Warga: Ancaman Bagi Media Massa?” yang diadakan LPM VISI FISIP UNS pada Kamis, 28 Februari 2008)
0 Comments: