Selasa, 24 Januari 2017

Derita Anak Koruptor

(Dok. Internet)

Oleh: Saad Fajrul Aziz
(Penulis adalah mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional, FISIP UNS)

Mendapati berita terkait dugan keterlibatan bupati Klaten, Sri Hartini dalam kasus suap sebenarnya tidak terlalu mengagetkan. Toh kepala daerah lain pun sepertinya melakukan hal yang tidak jauh beda. Kabar yang sebenarnya cukup membuat saya menggelengkan kepala adalah ketika mendapati bahwa suaminya yang juga mantan bupati Klaten pun pernah terlibat kegiatan korupsi.

Jika merujuk kepada Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka suap juga termasuk dalam kategori korupsi. Dengan kata lain, pasangan suami istri tersebut telah sama–sama melakukan tindakan korupsi ketika sedang menjabat di posisi yang sama. Frasa yang sekiranya tepat untuk menggambarkan pasangan tersebut adalah partner in crime. Yang dimaksud crime disini tentu sana kriminalitas yang sesungguhnya, bukan sekadar menggunjing dosen sebelum kelas dimulai.

Namun, dalam tulisan ini saya tidak akan menyinggung lebih jauh kegiatan korupsi maupun dampaknya pada stabilitas nasional. Saya lebih ingin membayangkan nasib seseorang andai menjadi anak mereka.

Jika seorang anak memiliki orang tua koruptor maka yang terjadi setidaknya anak itu akan menjadi sassaran bully teman sekolahnya. Belum lagi pandangan tidak sedap dari tetangga yang akan beranggapan bahwa kaos kaki sampai tas si anak tersebut adalah hasil korupsi. Tekanan macam ini tentunya akan berpengaruh pada pertumbuhan si anak.

Si anak yang tidak terlalu paham apa itu korupsi tiba–tiba mendapati juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) muncul di televisi dan menyebut–nyebut bahwa bapak dan ibunya mencuri uang negara. Ia yang hanya tahu sekolah dan tempat bimbingan belajar harus selalu mendapat tatapan merendahkan. Mau pergi ke mana si anak untuk sembunyi? Yang saya bayangkan adalah sampai dewasa si anak akan selalu merasa tertekan. Ia yang sedari kecil selalu dianggap apa–apa yang dimilikinya sebagai hasil korupsi akan berpikir bahwa meski ia memperoleh sesuatu secara halal pun akan tetap dianggap hasil korupsi.

Akhirnya si anak akan melaksanakan amanat dari sebuah frasa "terlanjur basah mencebur saja  sekalian.” Lalu ia betransformasi menjadi seorang koruptor profesional seperti orang tuanya—itu pun jika dia belum terlanjur bunur diri.

Tindakan korupsi tidak dapat dibenarkan apa pun alasannya. Sedikit atau banyak negara tetap saja dirugikan. Saya yakin perilaku korup tidak muncul secara genetik sebagaimana beberapa penyakit seperti AIDS. Namun perlu disadari bahwa buah tidaklah jauh dari pohonnya. Sebuah pepatah lama yang kiranya dapat diambil hikmah darinya. Perilaku anak cenderung akan mengikuti orang tuanya. Karena harus diakui bahwa orang tua adalah tempat pertama anak belajar. Kecuali tentu saja anak yang sial karena dibuang orang tuanya.

Santai saja, saya tidak sedang menyindir kelakuan kaum adam yang masih lajang. Pengalaman bergaul selama ini membuktikan perilaku teman–teman saya tidaklah jauh dari orang tuanya. Seorang anak yang kamar kosnya selalu rapi ternyata juga tinggal di sebuah rumah yang senantiasa rapi ketika saya berkunjung.


Bayangkan saja jika perilaku korup orang tua menurun ke anaknya. Terlebih, dalam kasus ini kedua orang tuanya sama–sama korupsi. Tidak bisa dibayangkan potensi seperti apa yang mereka turunkan ke anaknya. Namun ini hanyalah imajinasi dari saya. Toh saya adalah buah yang jatuh jauh dari pohon. Orang tua saya pandai mengumpulkan uang, saya pandai menghabiskannya.  

SHARE THIS

0 Comments: