Selasa, 04 September 2018

Partisipasi Politik dan Keterikatan Politik

(Dok. Internet)

Oleh : Fajrul Affi Zaidan Alkannur

Perilaku politik masyarakat yang maju dan modern tidak cukup ditandai dengan partisipasi politik tetapi juga ditandai dengan keterikatan politik. Indonesia, bangsa yang ingin merealisasikan iklim demokrasi yang berkualitas, harus melakukan proses pendidikan politik yang benar-benar mampu untuk mewujudkan partisipasi politik dan keterikatan politik secara optimal. Dengan demikian, dapat dirasakan pesta demokrasi yang benar-benar menjamin tercapainya kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Karena sejatinya Pemilihan Umum (Pemilu) bukan termasuk tujuan negara, melainkan salah satu sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.

Tulisan ini akan mencoba melihat apa dan bagaimana partisipasi politik dan keterikatan politik bagi bangsa Indonesia khususnya di kalangan kaum muda.

Definisi umum dari partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik dengan jalan memilih pimpinan negara dilakukan secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (Miriam Budiardjo, 2017 : 367).

Anggota masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses politik melalui pemberian suara atau kegiatan politik lainnya. Mereka berkeyakinan, melalui partisipasi tersebut, mereka dapat memengaruhi tindakan yang berwenang dalam mengambil keputusan. Partisipasi politik sendiri erat hubungannya dengan kesadaran politik. Kesadaran seperti ini awalnya muncul dari orang yang berpendidikan, memiliki kehidupan yang baik, dan orang-orang yang terkemuka. Kesadaran tersebut timbul dari latar belakang sesorang itu sendiri. Adapun alasan seseorang tidak berpartisipasi, yaitu dikarenakan protes terhadap pemerintah yang berkuasa atau karena mereka berpendapat bahwa keadaan yang ada terlalu buruk dan siapapun yang dipilih tidak akan mengubah keadaan. Di sisi lain terdapat keterikatan politik, yaitu keterikatan masyarakat pada politik. Keterikatan masyarakat pada politik menimbulkan kesadaran dan melek politik yang meyakinkannya bahwa sikap politik yang ia ambil akan berpengaruh terhadap penyelenggaraan negara. Dari situlah muncul suatu sistem yang memiliki beberapa unsur yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya.

Keterikatan politik memiliki perbedaan dengan partisipasi politik. Keterikatan politik memiliki cakupan yang lebih luas, termasuk di dalamnya partisipasi politik, pemberdayaan politik, akses politik, dan sosialisasi politik. Sekarang ini, politik sudah menjadi perbincangan sehari-hari di berbagai tempat umum. Orang-orang pun tidak takut maupun sungkan mengungkapkan preferensi politiknya. Hal tersebut menunjukkan tingkat keterikatan politik masyarakat saat ini cukup tinggi dan kini politik tidak hanya konsumsi kelompok elite.

Perbedaan keterikatan politik dan partisipasi politik juga tercermin dalam proses Pemilu yang menunjukkan keduanya tidak berkorelasi positif. Faktanya, saat Orde Baru tingkat partisipasi dalam Pemilu hampir 100% namun tingkat keterikatan politik terbilang rendah. Sebaliknya, di Era Reformasi, tingkat partisipasi dalam Pemilu hanya berkisar 75% tetapi tingkat keterikatan politik lebih tinggi dibandingkan masa Orde Baru. Hal ini bisa terjadi karena indikator seseorang terlibat dalam politik tidak hanya dinilai melalui keikutsertaannya dalam Pemilu tetapi  juga melalui kegitan lain seperti diskusi publik, jajak pendapat, petisi, dan sebagainya. Menurut Robert Putnam, keterikatan politik yang besar adalah modal bagi demokrasi untuk mengakar di masyarakat.  

Masyarakat bisa berperan aktif dalam politik tetapi, karena alasan tertentu, mereka tidak datang memberikan suara saat pemilihan umum atau sering disebut golongan putih (golput).  M. Saekan Muchith  (2017), dalam makalah berjudul “Membangun Kesadaran Berpolitik Masyarakat”, menjelaskan bahwa apatisme atau rendahnya partisipasi politik masyarakat disebabkan oleh empat faktor yaitu: Pertama, Faktor Sosiologis, yaitu tidak ada tokoh atau orang di sekitarnya yang bisa dijadikan contoh atau memberi penjelasan tentang apa yang seharusnya dilakukan dalam Pemilu. Rendahnya partisipasi dalam Pemilu lebih disebabkan kurangnya sosialisasi dari pihak pihak yang terkait. Kedua, Faktor Administratif, yaitu rendahnya atau tidak tertariknya masyarakat terhadap Pemilu disebabkan karena masyarakat tidak tercantum atau tidak terdaftar sebagai pemilih atau pemberi suara. Ketiga, Faktor Politis, yaitu rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pemilu disebabkan karena masyarakat tidak mengetahui apa makna Pemilu bagi kehidupan masyarakat. Keempat, Faktor Rasional Politis, yaitu rendahnya kesadaran berpolitik masyarakat disebabkan karena masyarakat memiliki kesadaran dan pemahaman yang kuat bahwa calon-calon yang ikut dalam proses Pemilu tidak memiliki kualitas dan integritas yang sesuai dengan harapan.

Partisipasi politik dan keterikatan politik harus sepenuhnya dipahami dan dijalankan secara benar oleh masyarakat, terutama generasi milenial yang didominasi oleh kaum muda. Hal ini sangat penting bagi kaum millennial, yang dianggap aktif dan melek informasi, sebagai proses pembelajaran demokrasi yang mampu menciptakan kehidupan demokrasi yang lebih baik di Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019, jumlah pemilih pemula mencapai 60 juta orang. Jumlah ini sekitar 30% dari total pemilih dalam Pemilu 2019 yaitu sekitar 196 juta orang. Berdasarkan survey dari CSIS (Centre for Strategic and International Studies) dan Survey Cyrus Network, jumlah partisipasi pada Pemilu 2014 hanya 70% sehingga angka ketidakikutsertaan dalam Pemilu mencapai angka 30%.

Hal tersebut sangat ironis, mengingat Indonesia merupakan negara demokrasi namun angka partisipasi politiknya masih rendah. Selain itu, dengan peningkatan keterikatan politik dapat menjadi proses check and balances di luar lembaga legislatif terhadap kinerja pemerintah dalam menyelenggarakan negara.

Jangan sampai generasi penerus bangsa menjadi orang-orang yang apatis dan tidak peduli akan persoalan politik dan negara. Maka dari itu, kita harus mempersiapkan generasi milenial sebagai generasi penerus yang melek politik, mampu berperan aktif, serta memiliki keterikatan politik. Dengan begitu, kelak proses demokrasi bisa dikelola secara lebih baik dibandingkan sekarang ini.

SHARE THIS

0 Comments: