Rabu, 28 Februari 2018

Bukan Cerita Soal Hujan



Judul : Hujan | Penulis : Tere Liye | Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama | Cetakan : duapuluh enam, Juli 2017 | Halaman : 320 halaman | ISBN : 978-602-03-2478-4
(Dok. Internet)
Oleh : Banyu

“Ketika hujan menjadi memori menyakitkan namun susah dilupakan”

Tere Liye memulai dengan berfilosofi bahwa manusia bak virus. Virus terus berkembang biak menyedot seluruh sumber daya sehingga hanya obat keras yang dapat menghancurkannya. 

Ketika membaca novel ini, pertama kali saya mengecap rasa-rasa fiksi ilmiah namun kian menghilang di tengah plot, berganti kisah petualangan dua anak manusia. Ya, sesungguhnya saya tidak mengerti apakah Esok merupakan tokoh utama yang karena kesibukannya jarang dimunculkan di panggung penokohan atau memang ia menjadi tokoh sub-utama diantara Lail dan Maryam. Berusaha membuat fiksi ilmiah mudah dicerna, Tere Liye mengangkat peristiwa alam sebagai tema yang mengawali cerita ini. 

Diceritakan, sebuah gunung api berkekuatan 10 Skala Richter meletus di kala teknologi komputerisasi sudah canggih sedekat apa yang diceritakan robot kucing ala Fujiko Fujio. Para negara berlomba mengirim gas anti sulfur dioksida untuk menanggulangi efeknya namun takdir berkata lain. Disini, kita kembali disadarkan bahwa secanggih apapun teknologi manusia pasti akan musnah oleh alam. Tere Liye berusaha memberi contoh “penyesalan datang di akhir” sebagai kisah seru yang wajib dibaca. Lail yang berusia 13 tahun berusaha menyelamatkan diri dari kejaran abu vulkanik dan robohnya platform kereta supercepat hingga akhirnya bertemu Esok, menjadi kisah yang cukup menegangkan untuk prolog meski diceritakan singkat sebagai sebuah ingatan. 

Mulai dari sini, plot terasa biasa saja. Remah fiksi ilmiah masih dipertahankan meski lebih banyak mendeskripsikan kondisi dunia mereka pasca bencana. Namun, tulisan Tere lagi-lagi berhasil membuat hati pembaca bergolak ketika membayangkan perjuangan seorang gadis yang ingin bertemu pujaan hatinya. Kedekatan mereka dibayang-bayangi kesibukan Esok dengan segala mesin canggihnya. Meski diselingi petualangan Lail dan Maryam saat bergabung di organisasi relawan yang terkesan monoton namun setiap momen romansa bersama Esok diceritakan dengan kesan seakan-akan kita ikut merasakan perjuangannya demi bertemu Esok. Bahkan saat melihat Claudia duduk didekatnya. Tere mendramatisasi rindu. Disamping itu, ketika kita melihat sampulnya, Hujan memiliki sampul simpel dengan warna aksen biru muda yang seakan menggambarkan air. Tidak adanya sinopsis di sampul belakang justru mengundang penasaran tiap orang sehingga tergerak untuk membacanya.

Akhirnya, Hujan, meskipun tidak menceritakan hujan secara eksplisit, secara tersirat berusaha memberitahu bagaimana jika satu hal yang menjadi ingatan terindah hilang dan bagaimana cara menerima itu semua. Tokoh Esok menjadi penggodok emosi di bagian akhir, bahkan mampu menitikkan "hujan" di mata pembaca ketika ia berusaha menghentikan Lail menghapus kenangan bersamanya. Namun cinta Lail menjaga rasa percayanya dengan Esok sehingga ia memilih untuk menerima semua kenangan pahitnya.  

Terkadang cinta bisa membuat seseorang buta, namun jangan pernah takut untuk memupuk rasa percaya bersamanya.

SHARE THIS

0 Comments: