Kamis, 28 Desember 2017

Buku Tipis Pembawa Cerita Kesedihan

Judul : Hantu, Presiden, dan Buku Puisi Kesedihan | Penulis : Irwan Bajang | Penerbit : Indie Book Corner | Cetakan : Pertama, 2017 | Tebal : 162 halaman (11.5 x 17.5 cm) | ISBN : 978-602-309-311-3
(Dok. Internet)
Oleh : Eko Hari Setyaji

“Tidur nyenyak, makan enak” − Irwan Bajang


Aku menciumnya dalam sekali. Melupakan banyak nama, tempat, dan alamat. Kami berciuman. Ciuman yang dalam dan lambat. Selamat datang mimpi dan harapan. Selamat datang kematian.

Remi tidak pernah membayangkan dirinya akan menjadi pembunuh, apalagi dalam tempo secepat ini. Sebuah kejadian tak terduga begitu cepat mengubah sisa perjalanan hidupnya.
Malam itu, malam sial memang. Keributan di bar begitu cepat terjadi. Pemabuk yang marah menyerang Remi dengan botol pecah di tangannya. Mendapat serangan mendadak yang mematikan, insting silat yang pernah ia asah selama tiga tahun terakhir bekerja dengan sendirinya. Ia menghindar, memiringkan tubuhnya ke kiri, berputar ke belakang, menekuk tangan musuhnya, lalu merebut separuh botol pecah itu. Tanpa babibu, pecahan itu langsung ia tancapkan ke mata musuhnya lalu ia cabut dan tancapkan lagi dengan keras pada leher musuh. Darah muncrat. Begitu musuhnya kejang dan berteriak kesakitan, barulah Remi sadar bahwa ia telah bergerak terlalu jauh.
“Lari, Mas. Lari!” 
***
Dari pintu yang terbuka keluar, datanglah enam orang berpakaian hitam dengan membawa pentungan, senjata tajam, dan pisau. Lalu muncullah sosok gendut dengan bekas luka di mata kirinya. Remi tahu siapa dia. Remi memandang wanita di hadapannya dengan raut benci, kaget, dan bercampur dengan pandangan penuh pertanyaan.
Wanita memang racun dunia!

Enam Tahun
Irwan Bajang merampungkan tulisannya dalam waktu yang cukup panjang. Terhitung sejak presiden negeri kita masih gemuk hingga beralih pada kepemimpinan baru. Namun, hanya dalam waktu kurang dari setengah hari, saya tuntas membaca kumpulan cerita ini. Tak sebanding dengan lamanya proses penyelesaian tulisan. Tetapi, tak apalah. Kumpulan cerita pendek ini cocok untuk dijadikan teman ngopi sambil menikmati santai liburan kuliah yang diliputi nuansa kesedihan menanti nilai yang tak kunjung keluar.
Saat membaca judul buku ini, saya berimajinasi akan ada banyak kisah haru dan kematian yang disebabkan oleh tiga hal berbahaya di dunia; harta, tahta, wanita. Benar saja. Banyak kepedihan yang tercipta akibat terlena pada tiga hal tersebut. 
Buku kumpulan cerita ini secara garis besar terbagi atas tiga bagian yang disusun dengan menyesuaikan tata letak menurut pengalaman Irwan. 
Dalam kumpulan cerpen ini, terdapat tiga tokoh utama yang paling sering muncul dalam 17 cerita yang ada. Tokoh pertama yaitu Remi, seorang penulis blog yang menjadi buronan aparat negara. Tokoh berikutnya yaitu Aria, calon istri Remi yang ditinggal dalam pelarian. Yang terakhir yaitu Latifa, gadis berperawakan Arab yang menjadi pujaan hati misterius Remi.
***
Bagian awal dari buku ini menceritakan seorang presiden dari partai oposisi yang baru saja berhasil menggulingkan tampuk kekuasaan presiden zalim yang telah berkuasa selama 27 tahun 6 bulan. Sang Presiden membawa misi maha berat, yaitu menciptakan negeri yang damai dengan seluruh warga yang tidak pernah bersedih dalam keadaan apapun. Kesedihan menjadi sesuatu yang diharamkan dalam kepemimpinannya di negeri tersebut.
Beberapa pihak tidak menyukai misi Sang Presiden. Segerombolan pemusik dan sastrawan mulai melakukan pertemuan rahasia untuk melakukan propaganda melawan kebijakan pemerintah. Mereka beranggapan, “Kenapa kita tidak boleh bersedih? Kesedihan itu menenangkan. Kamu tak bisa hanya tertawa.”
Suatu ketika, kegiatan terselubung tersebut diketahui oleh presiden. Pentolan pemusik dan sastrawan diadili dan dibunuh. Atas kejadian tersebut, Sang Presiden tetap meminta rakyatnya untuk berbahagia dan tertawa. Poster-poster anti kesedihan ditempel di sepanjang jalan guna menegakkan kebijakan pemerintah. Namun, apa daya? Rakyat sudah jengah.
Jumat pagi, manusia-manusia berpakaian hitam muncul di pusat-pusat keramaian. Mereka menyanyi, membaca puisi duka, dan meratap. Suara tangisan mereka seperti suara yang datang jauh dari liang neraka. Setiap hari, jumlah mereka semakin bertambah. Gerombolan mereka tak bisa dibendung. Semakin banyak yang ditangkap, semakin banyak yang datang. Di musim hujan, beberapa orang dipukuli di jalanan namun mereka tetap bernyanyi dan berpuisi.
Pada akhir masa jabatannya, Sang Presidendidampingi ajudan dan barisan pejabat teras partainyaberpidato, “Demi kebahagiaan rakyat, saya tak mau ada yang bersedih. Saya akan terus memerangi kesedihan bersama negara kita tercinta.” – Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan (2014)
***
Bagian kedua membahas sedikit tentang imajinasi hantu. Irwan, melalui karakter Remi, menceritakan kisah pertemanan singkatnya dengan seekor kucing yang diberi nama UFO. Kucing tersebut rupanya telah mati tertabrak mobil.
“Itulah yang membuatku takut. Ia datang begitu tiba-tiba. Sesuatu yang datang cepat, biasanya akan pergi dengan cepat pula.” – Kuberi Nama UFO (2012)
***
Setelah lelah menjadi presiden dan bercengkerama dengan hantu, bagian akhir dalam kumpulan cerita ini lebih mengaduk emosi pada kepedihan akibat wanita yang tak lain merupakan racun dunia. Irwan menceritakan tokoh Remipenulis blog neraka kecil yang menjadi buronan aparat negarasedang bersembunyi di sebuah daerah terpencil. Di tempat itulah, pertemuan Remi dengan Latifagadis keturunan Arab yang bertubuh seksi, berbibir tipis, dan berambut hitam ikalterjadi. Latifa merupakan gadis pujaan Remi, yang disukainya sejak awal bertemu. Kehadiran Latifa memunculkan dilema cinta Remi dengan Aria, kekasih yang ditinggal lari karena status buronannya.
Kisah cinta segitiga sepintas diulik dalam setiap cerita pendek Irwan. Akhir cerita mengisahkan, Remi tersadar bahwa bermain api dengan wanita dapat menghancurkan segalanya.
“Kini Remi tahu, ia sudah lama tak belajar dan menekuni silatnya. Ia tahu, ia lama tak berlangganan komik detektif dan terlalu lama hidup dengan ayam-ayaman. Tapi ia juga tahu, maut dan neraka tak pernah jauh dari dirinya. Ia menoleh benci ke arah gadis bermata terang itu,” – Neraka Kecil dan Sebuah Jalan Kematian (2015)

Kisah Akhir
Tak sedap rasanya jika hanya melewati kesenangan dan kegembiraan saja di dunia ini. Keseimbangan, haruslah ada. Layaknya manusia yang diciptakan berpasang-pasangan, ada kegembiraan dan ada pula kesedihan. Ada laki-laki, ada wanita. Ada presiden, ada rakyat. Selayaknya buku ini, keseimbangan antara ilustrasi gambarnya yang minimalis dengan jumlah halaman yang tipis, melahirkan kombinasi hiburan yang sempurna di tengah penat kesibukan.

SHARE THIS

0 Comments: