Jumat, 27 Oktober 2017

Lewat Film Kita Bercerita

Suasana diskusi dan pemutaran film oleh Laboratorium Sosiologi di Gedung 4 Lantai 3 FISIP UNS, Kamis (26/10/2017 (Dok.VISI/Muthi)
lpmvisi.com, Solo  Tak lebih dari lima puluh orang berkumpul dalam pelataran kecil sebuah ruang di gedung 4 lantai 3 FISIP UNS Kamis (26/10) kemarin. Tatapan-tatapan mata tertuju pada rangkaian gambar bergerak di hadapan mereka. Sementara suara dengan volume keras menyentuh dinding gedung dan gendang-gendang telinga. Lampu yang dimatikan menambah hening suasana. Penonton pun hanyut dalam dua film garapan Pria Yudi Pamungkas dan Yolanda Christianti.

Ingatan penonton kemudian digiring dalam memori lagu-lagu lawas. Film dibuka dengan gambar piringan hitam yang bergerak. Sementara musik pengiring film mengingatkan kita pada sebuah soundtrack film horror yang naik daun beberapa waktu lalu “pengabdi setan,” namun keduanya berbeda, meski sepintas terdengar mirip. Melalui filmnya yang bertajuk Dendang Nusantara Memori Musik Indonesia, Pria Yudi Pamungkas mencoba bercerita tentang carut marutnya pengarsipan musik-musik lawas Indonesia. Mahasiswa yang hampir menjadi alumni Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung itu mencoba menggali kembali memori musik Indonesia lewat berbagai pengarsipan yang tersisa.

Usai ditayangkannya film karya Pria yang berdurasi tak kurang dari 30 menit, film kedua kemudian diputar dengan tampilan berbeda. Kali ini Yolanda yang juga merupakan mahasiswa ISBI Bandung mencoba membuka tabir di balik peristiwa di gedung Asia Afrika Culture Center (AACC) Bandung, sebuah peristiwa dalam konser musik cadas yang menewaskan 10 penonton. Film yang berjudul “Eargasm” tersebut, menjadi sarana untuk menolak lupa tragedi yang terjadi 9 tahun lalu. Tak berhenti di titik kejadian, film itu juga bercerita bagaimana peristiwa tersebut  kemudian melemahkan gairah musik underground di Bandung, masuknya corporate dalam konser-konser musik indie, hingga dampaknya terhadap perkembangan musik di Bandung saat ini.

Pemutaran film pun selesai, lampu kembali dinyalakan, acara berlanjut dengan diskusi santai. Dalam proses diskusi, Danang Rusdyanto salah satu pembicara yang merupakan pegiat musik dari Lokananta sempat mengungkapkan permasalahan pengarsipan musik di Indonesia saat ini. “Di Indonesia, musik hanya dianggap sebagai sebuah hiburan saja, sehingga membedahnya secara mendalam sangat minim, padahal hanya dari sebuah komoditas musik,  akan terdapat banyak aspek di dalamnya. Kerja-kerja pengarsipan harusnya menjadi kerja-kerja akademis,” terang Danang.

Sementara itu Drajat Tri Kartono, Kepala Laboratorium Sosiologi FISIP UNS, sebelum pemutaran film dimulai, menjelaskan bagaimana esensi film dari kacamata sosiologi. “ Film dapat menjadi refleksi dan juga cermin. Film merupakan representasi dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Sesungguhnya para sutradara film adalah sutradara sosial, dimana apa yang mereka lakukan dalam film, secara sistematis berarti sedang merekayasa pikiran dari para penontonnya,” ungkap Drajat. Gunawan Wibisono, yang menjadi moderator diskusipun ikut  menambahkan, “Film buat kami, dari kalangan sosiologi, merupakan alat atau tools untuk melihat suatu peristiwa,” imbuhnya.

Di akhir diskusi, masing-masing penggarap film, baik Pria dan Yolanda mengungkapkan harapannya. “Pengarsipan menurut saya menjadi hal yang sangat penting. Dalam musik, apa yang kita dengar saat ini tidak akan lepas dari apa yang didendangkan pada masa dulu. Di bidang apapun kita bergerak, salah staunya riset, mulailah dengan mengarsipkan apa yang kita miliki. Karena apa yang kita arsipkan saat ini, mungkin di masa mendatang akan di cari,” ungkap Danang. Yolanda kemudian menambahkan, dengan penjelasan yang lebih singkat, “Ekosistem musik harusnya sehat, di mana setiap kalangan saling diuntungkan. Ketika musik tak hanya menyoal materi dan keuntungan, apalagi KPI (Key Performance Indicator-red) dari para corporate,” pungkasnya.

Acara diskusi dan pemutaran film yang diadakan Laboratorium Sosiologi tersebut selesai tepat pukul 17.00 WIB.  Acara yang bertajuk Teras Sosiologi itu, nantinya akan diadakan secara rutin, dan diharapkan mampu menjadi ruang diskusi terbuka bagi mahasiswa UNS, khususnya FISIP.  Seperti yang diungkapkan Khabib Bima ketua lab sosiologi saat ditemui VISI, “Teras Sosiologi memang sengaja diadakan dalam tempat-tempat seperti ini, di pelataran, tanpa terikat ruang-ruang yang formal, harapannya agar esensi diskusi lebih didapatkan jika dilakukan dengan sederhana,” ungkap Bima. (Muthi)

SHARE THIS

0 Comments: