Sabtu, 03 Juni 2017

Mengunjungi Semesta Kundera Lewat Tiga Untai Cerpen

Judul: Laughable Loves | Penulis: Milan Kundera | Penerbit:Papyrus Publishing | Tahun: 2017 | Tebal: vii + 196 halaman | Bahasa: Indonesia (diterjemahkan dari bahasa Inggris) | Penerjemah: Lutfi Mardiansyah

Oleh: Hedanang A Fauzan

Pada salah satu sesi wawancara dengan jurnalis Plinio Apuleyo Medoza, bapak sastra dunia, Gabriel Garcia Marquez pernah bertukas bahwa seorang penulissehebat apapun ituhanya akan mampu menulis satu novel saja di sepanjang hidupnya. Gabo menyodorkan dirinya sendiri sebagai contoh. Kendati telah menulis banyak novel, ia menuturkan bahwa semua novelnya cenderung bercerita tentang hal yang sama: kesepian. Oleh musabab tersebut, Gabo menganggap semua itu—novel-novel karyanya—tak ubahnya sebagai ‘satu tubuh’ saja.

Senada dengan Gabo, dalam sesi wawancara dengan jurnal The Paris Review, Milan Kundera juga pernah berkata bahwa seluruh novelnya bisa diberi satu judul yang sama: The Unbearable Lightness of Being (cahaya ringan yang tak tertahankan—red). Dan, memang seperti itulah Kundera. Ia seperti cahaya yang tak tertahankan, yang sampai-sampai sinarnya mampu menangkap hasrat paling gelap dalam diri seorang manusia.

Tokoh-tokoh dalam novel Kundera acap kali digambarkan dengan tingkat paradoks yang kelewat kentara. Di satu sisi, si tokoh menampilkan sifat pemujian nan agung. Di sisi lain, pada saat bersamaan tokoh tersebut juga ditampilkan dengan cemoohan yang lebih dari sekedar busuk. Gaya menampilkan tokoh penuh paradoks tersebut kemudian membawa Kundera menciptakan semestanya sendiri. Di dalam semesta itulah tokoh-tokoh Kundera hidup dan saling menghidupi.

Hal yang sama—menurut saya—juga dilakukan Kundera dalam karya-karyanya yang berbentuk cerpen. Pada antologi cerpen Laughable Loves misal, setiap cerpen di dalamnya senantiasa menampilkan tokoh-tokoh yang manis sekaligus busuk. Antologi yang diterjemahkan oleh Lutfi Mardiansyah ini berisi tiga cerpen buah tangan Kundera, yakni: Tak Seorangpun Akan Tertawa, Simposium, dan Biarkan yang Telah Lama Mati Memberi Ruang Kepada yang Baru Mati.

Dalam cerpen Tak Seorangpun Akan Tertawa, Kundera menggunakan sudut pandang orang pertama dan menggambarkan sosok ‘aku’ sebagai orang yang memiliki keteguhan, baik dalam hal karir maupun percintaan. Karena paradoks dalam keteguhan itulah, pada akhirnya si tokoh utama justru menghancurkan dirinya sendiri. Ia menjadi manis karena bersikeras menjauhkan wanita yang dicintainya—Klara—dari berbagai macam bahaya. Sedangkan di saat bersamaan, keteguhan yang membuatnya menolak mereview salah satu artikel karya Tuan Zaturecky menyebabkan Klara terus menerus mendapat ancaman dari keluarga Zaturecky.

Pada cerpen Biarkan yang Telah Lama Mati Memberi Ruang Kepada yang Baru Mati, Kundera juga menyuguhkan tingkat paradoks tokoh yang hampir serupa. Seorang wanita empat puluh tahunan yang kehilangan suaminya karena meninggal dunia dihadapkan pada kondisi yang teramat gelap tatkala ia bertemu kembali dengan lelaki lain yang dulu pernah memikatnya. Dan, pada titik itulah kepribadian dan pengalaman dalam diri si wanita kembali bergelut dan merobek-robek diri sendiri.

Ketiga cerpen dalam antologi Laughable Loves menyajikan semesta khas Kundera, di mana setiap tokohnya saling bergelut dengan kompleksitas kepribadian masing-masing. Kemudian, di tengah pergelutan tersebut Kundera menciptakan sebuah wadah hitam yang menampung hasrat-hasrat gelap setiap tokohnya. Di dalam wadah hitam ini juga terjadi—tidak hanya interaksi antar tokoh—tetapi juga interaksi antar kepribadian satu tokoh dengan kepribadian tokoh lain.

Sebagaimana para pembaca buku kerap memuji kesederhanaan Hemmingway, maka dengan cara serupa pula sekiranya saya boleh memuji kompleksitas Kundera. Penjelasannya terkadang memang rumit. Namun, cerita-cerita Kundera membawa kita berani menyusuri sebuah drama unik yang tetap mengasyikkan meski telah berkisah terlalu jauh.

Meminjam istilah Abe Raviz, Milan Kundera adalah intelektual kelas berat dan virtuoso sastra sejati. Ia mengambil berbagai kompleksitas untuk kemudian membalikkan semua itu dalam aksi sulap yang sanggup mengungkap hasrat paling gelap dalam diri kita sebagai seorang manusia. Kundera dan dunianya begitu rumit, penuh olok-olok dan paradoks.

SHARE THIS

0 Comments: