Kamis, 29 Juni 2017

Menelisik Tindak Plagiasi Pada Mahasiswa

Dok. VISI

Tindakan plagiasi menjadi masalah serius yang menghantui kalangan akademisi di perguruan tinggi. Himbauan yang kerap didengungkan untuk para akademisi di lingkungan kampus−baik dosen dan mahasiswa− nampaknya belum dijadikan perhatian serius dalam membuat sebuah karya ilmiah.

Disadari atau tidak, larangan untuk melakukan plagiasi oleh sivitas akademika di perguruan tinggi sudah diatur dalam Permendiknas No. 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Sedangkan, Universitas Sebelas Maret (UNS –red) melarang tindakan plagiasi sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Rektor UNS No. 828/H27/KM/2007 tentang Tata Tertib Kehidupan Mahasiswa di UNS. Namun, tindakan plagiasi masih marak ditemukan oleh sivitas akademika pendidikan tinggi, khususnya mahasiswa. Berikut ini adalah laporan redaksi dalam menelisik tindakan plagiasi dikalangan mahasiswa UNS.

Motif

Tindakan plagiasi merupakan tindakan yang dilarang bagi seluruh sivitas akademika perguruan tinggi. Namun, tindak kejahatan intelektual tersebut masih ‘dihalalkan’ oleh mahasiswa dengan beribu alasan. Anto (bukan nama sebenarnya –red), mahasiswa S1 Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD -red) UNS, merasa santai dalam melakukan tindakan plagiasi. “Santai , dosen mah cuek, ga merhatiin gituan, asal numpuk tugas aja“, ujar ia.

Senada dengan Anto, Deni (bukan nama sebenanya –red), mahasiswa D3 Periklanan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP –red) UNS, mengatakan bahwa banyak dosennya yang tidak peduli dengan tindak plagiasi. “Alah skors apa, dosen mah banyak yang ga peduli ama gitu-gituan plagiasi-plagiasi apalah”, pungkas ia. Ia pun mengatakan bahwa faktor suasana hati memengaruhi motivasi dalam melakukan tindakan plagiasi. “kalo mood bagus ya baca-baca dikit cari-cari benar tidaknya, kalo mood lagi jelek ya wusss... langsung jadi (melakukan plagiasi –red)”, kata Deni dengan nada santai.

Tindakan plagiasi yang dilakukan mahasiswa ternyata tidak sebatas karena ada kesempatan. Namun, kekecewaan mahasiswa terhadap kinerja dosen juga dapat menjadi pendorong tindakan plagiasi terjadi. Sebut saja Diana (bukan nama sebenarnya –red), yang melakukan plagiasi karena dosen mata kuliah yang memberikan nilai acak pada tugasnya. “Jadi, mau ngerjain serius apa nggak, gak akan ada bedanya”, pungkas mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS tersebut. Ia pula mengatakan bahwa ada dosen yang memberikan nilai acak pada tugas mahasiswa tersebut tidak peduli apakah pekerjaan mahasiswanya plagiasi atau tidak.

Hal serupa juga dialami dengan Yasmin, mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UNS, yang merasa dosennya tidak peduli dengan pekerjaan mahasiswanya. “Lebih karena dosen yang ga peduli sih, soalnya mau kita ngerjain serius atau nggak ga ada gunanya, akhir-akhirnya nilainya cuman random aja”, kata Yasmin. Ia pun menambahkan jika dirinya melihat karakter dosen terlebih dahulu sebelum melakukan plagiasi. “Kalau dosennya galak, ya mikir-mikir mau plagiasi. Pasti bakal buat tugas yang orisinil”, ujar ia dengan ketus.

Selain karena tidak pedulinya dosen pada plagiasi dan kinerja dosen yang mengecewakan, plagiasi juga dilakukan oleh mahasiswa karena kekurangan literasi. Mahasiswa tidak mengetahui pembahasan yang cocok untuk topik tugas mereka. Hal ini terungkap saat redaksi mewawancara Rama (bukan nama sebenarnya –red), mahasiswa D3 Perpustakaan FISIP UNS angkatan, yang mengaku menggunakan tugas kakak tingkat sebagai referensi. “Kebanyakan karena bingung ya mau bahas bahane gimana, jadi yawes plagiat deh. Jadi kaya nek udah ada acuan, nah mau ngembanginnya gimana terus jadi pengen lihat punya kating (kakak tingkat –red)”, pungkasnya.

Alasan kurangnya literasi juga muncul dari Bayu (bukan nama sebenarnya –red), mahasiswa D3 Periklanan FISIP UNS, yang memilih co-paste tulisan kakak tingkatnya untuk penulisan landasan teori di tugas akhirnya. Selain itu, faktor kemalasan mahasiswa juga menjadi pendukung kurangnya mahasiswa mencari literasi. “Ya sebenarnya males juga baca buku, toh landasan teorinya sama itu-itu juga”, ujar Bayu.

Metode

Beragam metode dilakukan oleh mahasiswa dalam melakukan plagiasi. Mulai dari copy-paste sampai dengan plagiasi ide pemikiran tulisan dilakukan oleh mahasiswa. Hal ini disampaikan oleh Diana sebagai berikut, “Ambil ide tulisannya aja. Nanti tak tambah-tambahin tak ubah dikit-dikit”, pungkasnya.

Hal serupa juga dilakukan oleh Yasmin, namun ia mengaku tidak pernah melakukan tindakan copy-paste tulisan orang lain ke tulisannya. “Kalau co-paste total yg 100% ga pernah. Aku kaya cuman copas idenya tapi tak kembangin sendiri, atau tak ganti pakai kata-kataku. Kalau co-paste plek bener-bener ga pernah sih”, ujar ia.

Metode serupa juga dilakukan oleh Anto. Ia memilih melakukan copy-paste tulisan orang lain dan mengeditnya agar menyamarkan tindak plagiasi yang ia lakukan. “Kan gampang tinggal salin tempel , ketik-delete-ketik-delete, kasih pemanis dikit dah jadi”, pungkasnya dengan tenang.

Mengenai sumber plagiasi, para narasumber mengatakan bahwa banyak bahan yang dapat dijadikan sumber plagiat. Sumber yang digunakan mulai dari blog, paper, sampai tugas akhir kakak tingkat. Hal tersebut dikemukakan oleh Yasmin, ia berkata, “Semua kelihatannya tak gabung-gabung gitu. Ebook, jurnal, blog, makalah, karya ilmiah”, ujarnya.

Selain Yasmin, Rama pun mengatakan hal serupa. Namun, ia lebih memilih untuk merekonstruksi kembali pekerjaan kakak tingkatnya yang sekiranya berkualitas. “Pernah. Kalo plagiasi sih buat tugas-tugas biasa. Kaya punya kating (kakak tingkat –red) yang udah oke sedikit di remake lah”, kata Rama. Untuk menyamarkan tindak plagiasi yang dilakukan, ia mengaku mengembangkan kembali ide tulisan dari sumber yang ia plagiat.

Dalam melakukan tindakan plagiasi, pemalsuan daftar pustaka juga sarat terjadi. Hal ini seperti yang diungkapkan Deni. Ia berkata, “Elah, daftar pustaka mah gampang kan di makalah download gitu juga ada daftar pustakanya, tapi yang susah kalo makalahnya ga ada daftar pustakanya, suka bingung ngarangnya gimana”, ujar Deni.

Adakah Tindakan Dosen?

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beragam narasumber dari mahasiswa, redaksi mendapatkan bahwa tindakan dosen dalam menangani kasus plagiasi masihlah minim. Rizki, mahasiswa D3 Periklanan FISIP UNS mengatakan bahwa dosen hanya memberikan tindakan yang ringan pada tindak plagiasi. “Aku sih mikirnya aman-aman aja, paling kalo ketahuan sama cuma suruh revisi dikit ,lagian gak sedikit juga kan yang copas-copas gitu? Ya sebenarnya males juga baca buku, toh landasan teorinya sama itu-itu juga”, ujar ia.

Hal senada juga diutarakan Fuad, yang ketahuan melakukan plagiasi saat sidang tugas akhir. “Haha.. pernah pas ujian kemarin, disuruh revisi daftar pustakanya aja”, kata Fuad. Selain itu, ia menambahkan bahwa tindakan plagiasi yang dilakukan olehnya tidak terlalu dipikirkan oleh dosen.

Berbeda dengan Fuad, Diana mengatakan bahwa ia tidak pernah mendapatkan peringatan dari dosennya karena melakukan plagiasi. “Engga pernah soalnya dosennya random banget ngasih nilai, jadi kaya ngga peduli gitu”, ujarnya. Hal serupa juga dikatakan Yasmin. Ia berkata, “Lebih karena dosen yang ga peduli sih, soalnya mau kita ngerjain serius atau nggak ga ada gunanya, akhir-akhirnya nilainya cuman random aja”, kata Yasmin. Ia pun mengatakan pula bahwa dosen terlihat sepele dengan masalah plagiasi.

Selain itu, tidak ada perbedaan pemberian nilai tugas mahasiswa antara pekerjaan yang plagiasi dengan yang tidak. Diana mengatakan bahwa ia pernah mendapatkan nilai lebih rendah daripada temannya yang melakukan plagiasi, padahal ia mengerjakan tugas itu secara orisinal.
“Pernah. Karena random yaa nilainya sama semua sekelas, 70/80 gitu. Malah pernah ada dosen yang killer anti plagiat club, nah salah satu temenku tu copas bener bener copas dari internet semuanya. Dapet A+. Sedangkan aku yang ngerjain sendiri dapet nilai A-“, ujar Diana dengan kesal.

Tidak adanya koreksi dari dosen juga memengaruhi niatan mahasiswa dalam melakukan plagiasi. Seperti yang dikatakan Anto. Ia berkata, “Gatau sih, selama ini ga dapet teguran atau apa-apa dari dosen, dosen juga ga ngasih tau kerjaan kita bener apa salah tau-tau nilainya keluar aja”. Ia juga mengatakan mendapatkan nilai B+ (lebih dari sama dengan 75 -red) dari dosen sudah membuatnya gembira.

Pandangan Dosen

Di Lingkungan UNS, tindakan plagiasi sering sekali ditemui oleh mahasiswa dari berbagai angkatan. Hal ini diungkapkan oleh salah satu dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNS, Diah Kusumawati, “jadi semua angkatan saya selalu bisa menemukan ada saja mahasiswa yang melakukan tindakan plagiasi.” Sebelum adanya aplikasi pendeteksi plagiasi secara otomatis, Dosen yang akrab disapa Didi ini mengungkapkan dirinya melakukan cek terhadap tugas mahasiswa secara manual. “Jadi biasanya ngecek tugas mahasiswa dalam satu kelas saya mengerjakan selama satu minggu biar gak lupa.” imbuhnya.

Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS, Sri Hastjarjo, mengatakan bahwa tindak plagiasi sering ditemukan, baik karena unsur teknis maupun kesengajaan penulis.
“Ada beberapa praktek plagiarisme, yang pertama sifatnya teknis, artinya mahasiswa yang bersangkutan mengambil dari sumber tertentu tetapi tidak mencantumkan sumber kutipannya. Yang kedua, penulis menjiplak karya orang lain. Jadi dia benar-benar meng-copy, entah itu makalah, paper maupun pekerjaan yang lain dan kemudian diganti dengan identitasnya,” ujar Hast.

Ada beragam penyebab plagiasi tumbuh subur dikalangan mahasiswa. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya bimbingan penelitian yang kurang maksimal. Hal ini diungkapkan oleh Sudarmo, Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UNS. Ia mengatakan bahwa seharusnya dosen berfungsi sebagai gatekeeper dalam menanggulangi tindak plagiasi. Namun, fungsi gatekeeper tersebut belum berjalan secara maksimal.

“Dosen harus lebih teliti dalam membimbing. Kita tahu dosen itu tugasnya banyak, dan kalau tugas banyak itu biasanya jadi kurang cermat. Akhirnya, tugas/ skripsi yang dikonsultasikan mahasiswa ke dosen tidak diperhatikan,” ujar Darmo.

Hal serupa juga dikatakan Wakil Rektor Bidang Akademik UNS, Sutarno, yang mengatakan kewajiban mengecek tugas mahasiswa merupakan hal terpenting bagi dosen. “Makanya Dosen itu harus teliti, ngajar paling cuman tiga SKS (Sistem Kredit Semester –red), ya mungkin ada penelitian sama pengabdian itu. Tapi ngajar ini penting, kan ini juga bagian dari pembentukan karakter,” pungkas Tarno.

Selain meningkatkan ketelitian dosen, tindakan plagiasi juga dapat dicegah dengan adanya perhatian dan himbauan secara serius kepada mahasiswa. Adanya sanski tegas untuk plagiator juga perlu diterapkan. “Kalau ada tindak plagiasi di skripsi, tesis, atau disertasi, ya tinggal cabut saja ijazahnya. Kalau di tugas kuliah, mahasiswa yang plagiasi tidak usah dikasih nilai,” ujar Tarno dengan tegas.

Selain itu, adanya regulasi yang pasti tentang persentase suatu karya ilmiah bisa dikatakan sebagai plagiasi. “Jadi sebetulnya harus ada aturan yang tegas berapa persen sebetulnya yang masuk tindakan plagiasi.” ungkap Didi.

Perkembangan teknologi di dunia pendidikan juga telah merambah kepada antisipasi untuk mengangulangi plagiarisme. Dalam menghadapi plagiarisme, UNS telah menggunakan Turnitin sebagai alat pendeteksi plagiasi yang dikelola oleh UPT (Unit Pelaksana Teknis -red) Perpustakaan UNS.

“Jadi Turnitin ini udah sejak dua tahun lalu kita sosialisakan ke smua prodi, lewat rapat bidang satu. Kan kita melanggankan untuk 2000 pengguna, kalo kita punya 1800-an dosen harusnya itu cukup, semua tugas bisa dimasukkan lewat situ dan dipastikan tidak ada plagiasi.” Kata Tarno di ruang kerjanya.

Tarno menambahkan bahwa dalam pelaksanaannya, penggunaan Turnitin belum sepenuhnya dipakai oleh dosen. “Tidak semua dosen mau memakai ya mungkin karena meribetkan, misal ada 60 mahasiswa per matakuliah, kan cukup makan waktu juga untuk memakai, itu masalahnya,” pungkas ia.

Kendala dalam pengimplementasian Turnitin dalam menanggulangi plagiarisme juga terjadi karena kurangnya sosialisasi. Hal ini dikatakan oleh Sri Hastjarjo di ruang kerjanya. “UNS sendiri sebenarnya sudah mengadopsi software yang namanya Turnitin, hanya saja belum disosialisasikan secara luas ya. ... , Itu kayaknya kok saya belum pernah mendengar sosialisasi ke mahasiswa tentang pelatihan penggunakan alat tersebut,” ujar ia.

Dalam hal kurang luasnya sosialisasi, hal ini dibantah oleh Koordinator Layanan Koleksi Digital dan Koleksi Khusus (Jawa dan Hibah Buku Asing) UPT Perpustakaan UNS, Riah Wiratningsih. Riah, begitu sapaannya, mengatakan bahwa Turnitin telah disosialisasikan secara luas oleh UPT Perpustakaan UNS ke setiap fakultas.

Oh sudah, kami sudah menyosialisasikan. Kami melanggan Turnitin mulai akhir tahun 2014, sudah 2,5 tahun. Kami membeli kuota 2000 user dan sekarang sudah ada 1500 user di UNS yang melanggan Turnitin. Tinggal seperempatnya sekarang akun yang masih free. Tapi saya yakin, karena ada surat edaran wakil rektor bahwa setiap dosen wajib mengecekkan ke Turnitin jadi sudah banyak dosen yang minta akun Turnitin,” pungkasnya.

Ia pula mengatakan bahwa semua informasi terkait sosialisasi Turnitin telah diumumkan melalui portal library.uns.ac.id. Namun begitu, penyelenggaraan sosialisasi juga menemui tantangan, yaitu banyak peserta undangan yang ternyata tidak datang ke sosialisasi. Untuk itu, Riah berkata bahwa sivitas akademika dapat datang langsung ke UPT Perpustakaan UNS untuk dilatih menggunakan Turnitin.

“Untuk mengantisipasi yang belum tahu, sebenernya Pak Rochmadi (Kepala UPT Perpustakaan UNS –red) mengatakan bahwa para sivitas akademika bisa datang ke perpustakaan secara langsung. Mahasiwa juga boleh untuk mendapatkan training Turnitin secara langsung oleh pustawakan. Kalau mahasiswa sudah tahu, mahasiswa bisa kasih tahu ke dosen yang bersangkutan,” ujat Riah.  

Namun sebaik-baiknya sistem yang dibangun dalam mencegah plagiasi, faktor individu sivitas akademika menjadi penentu merebak atau tidaknya tindakan plagiasi. “Kejujuran individu menjadi titik kunci dalam memberantas tindak plagiasi. Walaupun begitu tetep pada akhirnya balik kepada individu ya. Sebagus apapun sistem, kalau memang seseorang itu niat untuk nrobos dia pasti akan menemukan caranya entah bagaimana,” pungkas Sri Hastjarjo.

Selain itu, penekanan untuk mematuhi etika akademis juga dilakukan. “Memang dari segi mahasiswa, penekanan dari etika akademis terus menerus dilakukan. Dikatakan berkali-kali oleh dosen dalam kontrak belajar kalau sampai ada plagiarise resikonya ini, ini, ini. Selain itu juga dosen juga menekankan setiap kali presentasi, penulisan makalah jangan sampai praktek itu terjadi. Tapi kembali lagi balik ke diri tiap-tiap orang ya”, ujar ia. (Redaksi LPM VISI FISIP UNS)

SHARE THIS

0 Comments: