Sabtu, 01 April 2017

Simfoni Kehidupan

Ilustrasi.VISI/Hernowo
Oleh: Hernowo Prasojo

Hari Selasa pukul tujuh di hari Minggu. Suasana hari ini sangatlah damai, mengingatkan diriku tentang masa-masa indah di remaja dahulu. Sudah beberapa hari ia berada dalam naunganku. Seorang anak laki-laki berumur 12 tahun yang selalu ingin tahu tentang dunia dan yang ada di sekitarnya. Setiap hari ia berlari ke sana ke mari mencari sepenggal kisah dari tiap sudut ruang tamuku. Mataku tak pernah jemu melihat setiap tingkah konyolnya. Kadang ia bermain anggar dengan sapu, kadang ia melaju melawan sofa, kadang ia menari dengan meja serta kursi. Setiap diriku pulang, tak pernah jemu mataku melihat tingkahnya. Tak terkecuali Minggu pagi ini.

Sambil menikmati secangkir teh dan duduk meresapi keindahan pagi. Kupandangi ia yang sedang terlarut dalam pesta teh bersama beberapa pasang sepatu. Dia terlihat asik bercakap-cakap dengan setiap pasang sepatu. Sesekali terlihat raut muka sedih, namun tak jarang muka bahagia terpancar dari wajahnya. Entah mengapa, aku mulai mendekatinya.   

“Sedang apa kamu?” Ujarku dengan seulas senyuman kecil

“Hsssttt….. jangan berisik. Dodot bau tidur,” katanya sembari menunjuk sebuah sepatu yang tergeletak dilantai.

Mendengar jawabannya, aku pun kembali ke sofaku dan untuk menikmati secangkir tehku. 

Waktu berlalu bagaikan kilat. Berlalu cepat dan tak meninggalkan apapun, kecuali hanya sedikit. Anak laki-laki tersebut kini berusia 20 tahun. Ia telah cukup dewasa untuk mengetahui dunia di sekitarnya. Ia tak lagi menari dengan sapu, maupun minum teh dengan sepatu. Ia mulai menjadi manusia. Manusia seutuhnya yang ingin mengetahui lebih jauh tentang dunia. Dunia yang ada di sekitar ruanganku kini terasa kecil baginya.

Ia pun meminta izin padaku untuk pergi. Aku tau bahwa hal ini pasti terjadi suatu saat nanti. Cepat atau lambat dia akan pergi meninggalkanku sendiri. Ingin diriku menahannya. Namun aku tahu, bahwa hal itu hanyalah keegoisanku yang justru akan menyusahkannya. Aku pun memberinya sepenggal nasihat tentang kehidupan. Ia menerimanya dengan mata tertunduk dan air mata yang menetes.

Ingin rasanya diriku menangis terisak di hadapannya. Namun aku menyadari, bahwa aku tak pernah punya hak untuk melakukannya. Akhirnya ia pun pergi. Ia pergi meninggalkanku sendiri bersama ruangan hampa yang kini tak lagi terasa seperti dahulu kala.

Setahun... dua tahun… sepuluh tahun berlalu sejak ia meninggalkanku di ruangan ini. Rasa rindu tak henti-hentinya menyerang diriku. Ya… rasa rindu akan kepulangannya. 

Bagaikan kejaiban, tepat pada hari Minggu, dua belas tahun sejak kepergiannya, ia kembali. Ia kembali dengan raut muka yang berbeda. Muka teduhnya kini berubah menjadi garang. Rambutnya kini acak-acakan berwarna perak terang. Bajunya yang dulu syahdu, kini berwarna hitam legam menyeringai ganas. Sejenak diriku ragu untuk memeluknya, namun pada akhirnya diriku menyadari bahwa aku tetap menyayanginya. Kupeluk ia dengan erat. Walaupun hatiku ragu, tapi inilah dunia yang ia pilih dan aku hanya bisa menerimanya.

“Bagamimana kabarmu selama ini?” tanyaku dengan senyuman kecil

Namun ia hanya diam. Setiap diriku bertanya tentang apapun, yang ia berikan hanyalah kesunyian dan tatapan kosong. Selama hidupku, tak pernah aku merasakan kehancuran sebesar ini. Aku pun bertanya kembali,

“Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu?” Ia pun mulai memandangku dengan tatapan nanar, dan berkata dengan lirih

“I….ya,” jawabnya dengan penuh keraguan

Aku pun mulai menyadari betapa rapuhnya ia, seolah-olah ia akan hancur jika aku mengatakan sesuatu yang salah.

“Apakah yang bisa kubantu?” aku melanjutkan dengan senyum kecil yang kuharap memberinya kekuatan.

“Apakah diriku bisa meminta hatimu?” ujarnya, masih dengan keragu-raguan yang sama.
  
Sejenak aku mulai berfikir. Inilah yang mengganggu harinya, menghapus tawanya, dan membelenggunya dalam kegelapan.

“Tentu saja,” jawabku dengan percaya diri dan tanpa keragu-raguan.

Ia pun mulai menangis, menangis tersendu-sendu dan berteriak histeris. Di dalam hatiku, aku menyadari bahwa ia berharap aku berkata tidak. Namun, dia tak pernah tau bahwa aku menyayanginya lebih dari diriku sendiri.

Aku pun memberikan hatiku, dan ia pun menerimanya masih dengan keraguan. Kupegang erat tangannya sambil memberi isyarat, bahwa aku baik-baik saja. Ia pun kembali pergi meninggalkanku.

Setahun…Dua Tahun...Sepuluh Tahun...ia tak kunjung kembali. Rasa rindu dalam diriku semakin dalam. Dan kali ini pun Tuhan kembali mendengarkan doaku. Lima belas tahun sejak kepergiannya yang terakhir, ia kembali padaku. Kali ini ia datang dengan keteguhan hati yang terpancar jelas. Aku pun merasa amat bahagia, melihat ia yang dulu telah kembali. Empat hari kulalui penuh kebahagiaan bersamanya. Penuh canda serta gelak tawa. Tepat pada hari kelima sejak kepulangannya, ia tiba-tiba menatapku dengan tatapan tajam. 

“Bolehkah aku meminta kedua kaki dan tanganmu?” tanyanya.

Sejenak aku berfikir. Aku tak pernah sedikitpun keberatan memberikan kedua kaki dan tanganku padanya. Namun, melihat raut mukanya, aku menyadari bahwa ia tidaklah jujur. Dan aku menyadari bahwa pilihan salahku akan menghancurkannya sekali lagi. Walaupun merasa berat, aku menyadari bahwa hanya inilah yang dapat kulakukan untuk membantunya.

Aku pun memintanya duduk di Sofa. Setelah ia duduk, aku meminta izin untuk pergi ke dapur. Saat tiba di dapur, tanpa keraguan kuambil sebilah pisau. Kulihat di ruang tamu, ia masih asyik memandang halaman dengan tatapan damai. 

Kemudian aku mulai mendekatinya dari belakang dan kugorok lehernya. Darah segar mengalir dari lehernya dan meresap merah ke dalam sofaku. Bersama dengan tubuhnya yang tergeletak di sofa, kulihat wajahnya untuk terakhir kali. Kulihat senyum bahagia merekah dari wajahnya yang kini tak bernyawa.

Setelah kupastikan ia tak bernyawa, aku mulai menaiki tangga menuju atap rumahku. Aku meloncat dari atap ke bagian luar. Tubuhku terjun bebas menuju jalanan. Dalam setiap detik menuju kematianku, wajahnya tak pernah hilang dari pikiranku. Seperti sebuah potret kecil, aku ingat kembali kelucuan dan tingkah konyolnya di ruanganku dulu, wajah bahagia, serta keceriannya. 

“Kini Dodot akan tidur.”

“Dodot terlalu lelah untuk bermain.”

“Namun, Dodot berjanji. Dodot akan menemani minum teh di lain hari.”



SHARE THIS

0 Comments: