Senin, 19 Desember 2016

Belajar dari [BEKAS] Sarjana yang Melamun di Tepian Baskom



Dok. VISI/ Eko

Judul                 : Sarjana di Tepian Baskom
Pengarang         : Wildan F. Mubarock
Penerbit             : Indie Book Corner
Dimensi             : 13,5 x 19,5 cm
Tebal                  : 194 halaman
Cetakan              : Ketiga, November 2015

Oleh : Eko Hari Setyaji

“Tujuh Desember, Puncak Gantole. Jangan lupa, Gar, pukul 10.00 WIB! Malam biru tidaklah merindukan pagi, takkan memeluk malam untuk selamanya.” Ucap Daaris, di akhir perjumpaan singkat yang tak terduga dengan Tegar saat lomba teater nasional yang bertempat di Taman Ismail Marzuki tahun ini. Sebuah janji yang tak pernah dilupakan Tegar – salah satu guru pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SBI Depok – hingga kini.

Teringat sebuah akronim Jawa, Guru, digugu lan ditiru. Sebuah akronim yang tampak saat ini tak memiliki makna lebih dari hanya sekedar istilah semata. Di Negeri makmur loh jinawi. Negeri tongkat dan kayu jadi tanaman. Negeri para wali dan raja. Negeri para pelaut yang mulai hanyut. Negeri para petani yang perlahan hampir mati. Negeri yang mulai ngeri oleh serbuan globalisasi. Negeri yang hampir mati suri oleh jemari luar negeri. Dan masih banyak ungkapan lain bagi negeri kita tercinta (Indonesia) ini, guru tak lagi dihargai.

Kasus Guru SD diadili karena pukul muridnya dengan penggaris, hanya karena memberi hukuman kepada sang murid yang berkelahi dan membuat gaduh kelas; Guru honorer yang diadili karena mencukur dan merapikan rambut muridnya yang tidak sesuai ketentuan sekolah; Gaji guru non PNS yang hanya digaji ratusan ribu tiap bulan padahal dirinya rela mengabdikan jiwa raganya demi mencerdaskan kehidupan bangsa hingga ke pelosok negeri sangat berbanding terbalik dengan realitas guru di kota besar yang mengejar sertifikasi tanpa mengajarkan budi pekerti. Potret seperti inilah yang kerap kita jumpai saat ini. Sungguh miris memang, melihat nasib guru di masa sekarang ini. Pada dasarnya semua guru ingin memberikan kemampuan terbaiknya demi terwujudnya cita-cita bangsa yang tertulis rapih dalam UUD 1945 tersebut. Bahkan sudah pula ditempa sejak waktu mereka kuliah. Namun, terkadang kondisi lingkunganlah yang mempengaruhi.

Novel Sarjana di Tepian Baskom karya Wildan F. Mubarock ini merupakan novel yang layak dibaca bagi kamu calon guru ataupun guru. Dikemas secara menarik serta menggambarkan kehidupan sehari-hari saat ini. Siapa sih yang tidak ingin menjadi sarjana? Siapa juga yang cita-cita masa kecilnya tidak ingin menjadi guru? Siapa sih yang di rumahnya tidak memiliki barang murahan bernama “baskom”?

Melalui tokoh utama bernama Tegar, yang tidak lain merupakan penggambaran tokoh dari penulis itu sendiri – mahasiswa berprestasi prodi Pendidikan Bahasa Indonesia di salah satu kampus swasta di Kabupaten Bogor – yang akhirnya mampu mewujudkan cita-citanya mengajar di sekolah internasional; Didukung tokoh pendamping, Daaris, teman sekelas Tegar dengan segudang bakat sastra dan IPK pas-pasan yang selalu ia dirindukan; serta didukung tokoh pembantu lain seperti keluarga Tegar, guru rekan pengajar, dan murid tentunya, penulis mengalirkan kisah nyata kehidupan sehari-harinya (dulu) dengan diimbuhi bumbu drama menarik.

Kisah dimulai dari Tegar yang akhirnya berhasil mendapat gelar sarjana berpredikat lulus dengan pujian (cumlaude) dari kampus swasta yang tak dengar gaungnya di kancah nasional dan menjadi guru pelajaran bahasa dan sastra indonesia di salah satu SMP  kampungnya. Tegar yang lulusan sarjana memilih  menjadi guru dan hanya bergaji ratusan ribu tiap bulan tersebut, kerap menjadi bahan gunjingan warga Kampung Babakan, Desa Sukaraja, Kabupaten Bogor karena nilai gajinya yang kalah jauh dibanding buruh (kuli) yang hanya sekolah hingga SMA – kuli memiliki gaji jutaan rupiah tiap bulannya. Mengahadapi keadaan tersebut, Tegar yang menjadi tulang punggung keluarga – karena sang ayah sudah meninggal dunia – berusaha tetap sabar dalam menghadapinya sambil mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta dan mengingat-ingat kenangan bersama Daaris semasa kuliah.

Tak lama bekerja di SMP tersebut, Tegar yang berasal dari keluarga kurang mampu di kampungnya melamar menjadi salah satu tenaga pengajar di sekolah bertaraf internasional. Akhirnya berkat segudang penghargaan dan piagam yang didapat sewaktu masih kuliah, Tegar berhasil lolos menjadi guru di sekolah tersebut. Suasana baru, iming-iming gaji yang besar, rekan tenaga pengajar yang profesional dan kompeten tak menjamin tidak adanya konflik. Tegar harus menghadapi kenyataan, bahwa para murid disini diperlakukan layaknya raja dan ratu di istana (tidak boleh dimarahi, tidak boleh dibentak, bahkan masing-masing anak punya pengacara pribadi) – maklum anak orang kaya semuanya, yang setiap kemauannya pasti terpenuhi. Sehingga guru disini tak terkecuali Tegar harus ekstra sabar dan memiliki trik tersendiri untuk menghandle hal tersebut.

Lambat laun, setelah mencoba beragam metode, Tegar ulai mampu menemukan metode pengajaran yang cocok dan pas. Tegar pun mulai nyaman bekerja dan berniat mengaplikasikan hobinya bermain teater sewaktu masih kuliah bersama Daaris dengan menjadi guru ekstra teater sekolahnya dan mengikuti lomba teater tingkat nasional. Bermimpi juara 1 pada lomba teater nasional tahun ini, Tegar dihadapkan dengan beragam rintangan, mulai dari minimnya peminat seni karena lebih berorientasi sains, hingga track record sekolah yang tak pernah mencicipi gelar juara di ajang teater tingkat nasional. 

Diiringi dengan bumbu-bumbu kehidupan sehari-hari Tegar dirumah serta kenangan-kenangannya bersama Daaris, cerita dalam novel ini mengalir seperti air di kali Bengawan Solo. Pelajaran tentang moral dan kehidupan banyak dipetik dari karya pertama edisi “guru” ini. Meskipun banyak diselipkan logat daerah, namun bahasa yang digunakan dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga mudah dicerna dan dipahami. Jika kamu bercita-cita menjadi guru, seperti Tegar, atau sudah menjadi guru, bahkan (mungkin) tidak sengaja menjadi guru dan belum menemukan pola yang cocok dalam mengajar, buku ini cocok menjadi bacaan kamu. Bagi kamu yang bukan atau tidak berkeinginan menjadi guru, buku ini juga cocok menjadi teman menikmati senja sore hari karena penuh dengan pesan moral kehidupan sehari-hari dan dibuat ngeh: oh begitu!.

SHARE THIS

0 Comments: