Selasa, 15 November 2016

Dua Tahun Realisasi Pembangunan di Indonesia Timur

Dok. Internet

Oleh: Dita Khairunnisa

Dua tahun sudah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan wakilnya Jusuf Kalla, atau biasa disebut Jokowi-JK ini. Seperti halnya pemimpin yang lain, hampir seluruh masyarakat—baik dari kalangan bawah hingga atas—menilai hasil kerja yang telah dilakukannya. Dua tahun memanglah bukan waktu yang lama namun juga bukanlah waktu yang sebentar untuk melakukan perubahan.

Hal tersebut pun dibuktikan oleh pasangan pemimpin ini. Satu demi satu janji yang diutarakan melalui visi misi mereka dipenuhi. Salah satu yang mulai nampak dan menarik perhatian adalah program nawacitanya membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Meskipun belum 100% selesai, beberapa di antaranya sudah terlihat realisasinya.

Sebut saja proyek infrastruktur pembangunan listrik di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dikutip dari harian Kompas edisi Selasa, 18 Oktober 2016, pemerintah melalui PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tengah membangun 13 pembangkit listrik berkapasitas 253 Megawatt, beserta jaringan transmisi sepanjang 246 km. Hingga saat ini, PLN sudah menyelesaikan pembangunan enam infrastruktur — dua pembangkit listrik bertenaga air dan minihidro berkapasitas 22,5 MW; saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) 70 KV untuk dua jalur; Gardu Induk Waena – Sentani sebesar 20 MVA; Gardu Induk Jayapura sebesar 20 MVA.

Dampak dari pembangunan listrik di Papua dan Papua Barat ini diperkirakan adanya penghematan belanja Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga Rp 161 miliar per tahun; selain untuk mempermudah dan terpenuhinya kebutuhan listrik bagi masyarakat Papua dan Papua Barat.

Realisasi pembangunan daerah timur Indonesia tidak hanya sampai di situ saja. Dilansir oleh harian Kompas edisi Senin, 22 Agustus 2016, bahwasanya terdapat ruas jalan baru sepanjang 92 kilometer yang melintasi hamparan tundra di daerah Papua; menyusuri hutan Taman Nasional Lorentz dan Danau Habbema.

Meskipun hingga kini, jalan yang membentang tersebut belum semulus jalan-jalan pada umumnya — jalan raya yang biasa membelah kota-kota besar. Jalan tersebut masih berupa pengerasan dengan tanjakan terjal, turunan curam, dan tikungan-tikungan tajam. Ditambah dengan dinding tebing di sisi kanan atau kiri yang rawan longsor.

Sungguh, masih jauh dari kata layak. Bahkan hingga kini, hanya kendaraan beroda empat saja yang dapat melintasi jalan tersebut. Namun siapa yang menyangka jika jalan yang masih jauh dari kata layak ini merupakan suatu hal yang berharga? Jalan yang, bahkan dilihat dari fotonya saja, orang akan enggan untuk melintasinya. Atau malah menimbulkan pertanyaan “apakah jalan tersebut dapat dilintasi?”. Tetapi untuk masyarakat Papua, jalan tersebut merupakan anugerah.

Dibuka sehari sebelum hari kemerdekaan, yakni 16 Agustus 2016, jalan ini merupakan hadiah yang luar biasa bagi masyarakat Papua—warga Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Hal ini dikarenakan dibukanya jalan tersebut dapat menjadi awal perkembangan Mbua dan warganya.

Perlu diketahui, bahwasanya sebelum jalan ini dibangun, warga Mbua yang akan ke Wamena—sebuah distrik sekaligus ibu kota Kabupaten Jayawijaya, kabupaten terdekat—hanya bisa melalui dua pilihan; menaiki pesawat perintis atau berjalan kaki. Jika menggunakan pesawat perintis, warga Mbua harus membayar tiket pesawat sebesar Rp 600.000 atau Rp 16 juta untuk menyewa pesawat berkapasitas delapan penumpang.

Sedangkan jika memilih untuk berjalan kaki, dibutuhkan waktu yang lama. Seorang warga Mbua, Elianus Lokbere (30) menceritakan bahwa hingga awal 2016, umumnya warga harus berjalan kaki lebih kurang lima hari dari Mbua ke Wamena. Di tengah perjalanan, mereka juga harus menginap di belantara. Jika hujan es turun mereka terpaksa menginap di ceruk-ceruk bebatuan di tebing karang. Mereka juga harus membawa sekeranjang besar hipere atau ubi jalar. Elianus pun bercerita, “Kami biasa meninggalkan sebagian hipere di tengah hutan untuk bekal saat kembali,” imbuhnya pada harian Kompas.

Namun dengan dibukanya jalan sepanjang 92 kilometer tersebut, warga Mbua sangat merasakan keringanannya. Mereka dapat menggunakan kendaraan roda empat dengan biaya Rp 100.000 per orang atau menyewa sebuah kendaraan roda empat sebesar Rp 3 juta—kapasitas 15 orang. Perubahan yang terlihat sangat signifikan, bukan? Meskipun jalan yang dilalui kini masih jauh dari kata layak. Pemerintah pun diharapkan akan terus melanjutkan pembangunan jalan hingga mencapai kata layak.

Dua peristiwa tadi hanyalah sedikit dari banyaknya rencana pembangunan pemerintah. Memang sudah saatnya, infrastuktur di Indonesia dibangun merata. Tidak hanya Pulau Jawa saja—atau biasa disebut Jawasentris—terutama ibu kota; meskipun ada yang mengatakan bahwa ibu kota sebagai tolak ukur perkembangan di Indonesia. Namun sejatinya Indonesia tidak hanya sekedar Pulau Jawa atau Jakarta.

Tak ayal, jika pemerintahan Jokowi-JK ini dikenal sebagai era pemerataan pembangunan; meskipun belum sepenuhnya terealisasi. Masih banyak yang harus diperbaiki dan terus dikembangkan. Namun masih terlalu dini untuk “mencacati”nya. Sebagai masyarakat, sudah sepantasnya dan sewajarnya kita mendukung program pemerintah demi memajukan negara.

Alangkah lebih baik jika menunggu dan melihat hingga program-program tersebut telah terealisasi sepenuhnya, setidaknya hingga tahun 2019—untuk program pembangunan listrik di Papua dan Papua Barat. Setelahnya, barulah mengkritik jika ada yang kurang, bukan mencaci.

SHARE THIS

0 Comments: