Sabtu, 06 Agustus 2016

Menjelang Fajar di Filipina

Skuad timnas Indonesia pada laga kontra Bahrain di Piala Asia 2007. (Dok.AFC)
Oleh: Herdanang Ahmad Fauzan

Sore itu gol indah Budi Sudarsono yang berawal dari umpan chop manis Firman Utina nyaris dibuat tak berarti, ketika pada menit ke-27 pemain Bahrain bernomor punggung tujuh sempat menyamakan kedudukan.

Namun teriakan yel-yel untuk mendukung tim tuan rumah tak sedetikpun berhenti. Teriakan tersebut pada akhirnya berhasil menggerakkan roda-roda takdir ke arah yang tepat.

Pada menit ke-64, Bambang Pamungkas—berkat bola rebound hasil sepakan Firman Utina—secara resmi berhasil mengunci kemenangan bersejarah 2-1 timnas sepak bola Indonesia atas Bahrain di partai pembuka Grup D Piala Asia 2007.

Bagai terlanda gempa bumi, Stadion Gelora Bung Karno (GBK) terasa berguncang tak karuan kala merayakan gol sang kapten abadi tim tuan rumah. Di penjuru lapangan, Bepe terlihat begitu agung. Bersama rekan-rekan setimnya, ia berselebrasi merayakan gol tersebut bagai Musa yang sedang membelah Laut Merah diiringi para pengikutnya.

Sebagai bocah berusia tak genap 10 tahun yang untuk pertama kali diajak ayah dan pamannya nonton timnas kesayangan langsung dari tribun GBK, tak banyak yang bisa saya ingat dari 90 menit yang konon menghasilkan enam kartu kuning tersebut. Bahkan untuk melukiskan momen di atas saya perlu  googling  terlebih dahulu, mencari data di menit ke berapa ketiga gol tercipta.

Namun, ada rasa gemetar yang masih membekas dengan jelas di ingatan saya hingga detik ini. Rasa gemetar yang begitu dahsyat, bahkan melebihi rasa gemetar ketika Jack Wilshere—pemain liga Inggris idola saya—mencetak gol indah lewat kaki-kakinya yang rapuh dan tak selincah Lionel Messi pada pertandingan kontra Norwich City dua musim lalu.

Di GBK, 10 Juli 2007, untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya berhasil membuat saya menangis.

Saya masih ingat betul betapa dinginnya air mata yang menggenang di pipi saya, sewaktu Indonesia Raya dinyanyikan secara massal sesaat sebelum laga Indonesia kontra Bahrain dimulai. Padahal beberapa jam sebelumnya—sebelum memasuki tribun GBK—ayah saya sempat berpesan, “Le, mengko pas nyanyi Indonesia Raya ojo karo nangis. Nek nangis, kowe ra bakal isoh dadi pemain bola setangguh Zidane.”

Nyatanya sabda ayah saya benar-benar jadi do’a yang mujarab. Saya menangis, dan tak bisa jadi pemain bola setangguh Zinedine Zidane. Lebih parah lagi nasib paman saya. Ndak cuma nangis, pria brewokan yang duduk di sebelah kiri saya pada momen langka tersebut bahkan berkata, “Asu, mripatku mbrebes!” Alhasil, karena misuhnya itu, tak cuma gagal jadi Zidane, ia juga dikutuk jadi seorang pegawai bank.

Di luar konteks nasib sial dan tangisan kami bertiga, kemenangan Indonesia atas Bahrain memang tak membawa keuntungan signifikan bagi pencapaian Indonesia di sepanjang gelaran turnamen. Pasalnya kekalahan atas Arab Saudi dan Park Ji-Sung FC beberapa hari kemudian menggariskan Indonesia untuk sekali lagi gagal meloloskan diri dari babak penyisihan Piala Asia.

Namun, satu hal yang saya yakin, bahwa sesungguhnya kemenangan tersebut berarti sangat luar biasa di mata masyarakat Indonesia.

Kemenangan itu tak hanya sekedar memberikan tiga poin penuh arti, tetapi juga menumbuhkan kembali harapan yang telah lama layu.

Jika bukan karena kemenangan atas Bahrain, mungkin masyarakat Indonesia akan lupa seperti apa perasaan membangga-banggakan negaranya sendiri. Jika bukan karena kemenangan itu pula, para punggawa timnas Indonesia rasanya takkan punya semangat bangkit membara yang membawa mereka ke partai puncak AFF Cup 2010, sekalipun pada akhirnya masih harus mengakui kehebatan negeri tetangga dan harus puas jadi runner up.

Laga kontra Bahrain sore itu kemudian tertutup oleh langit gelap karut marut persepakbolaan dalam negeri.

Kasus korupsi di PSSI, dualisme liga, kerusuhan antar supporter di kompetisi domestik, hingga pembekuan otoritas tertinggi sepak bola dalam negeri seolah menjadi mimpi buruk yang menyebabkan malam sang garuda terasa kian panjang dan kelam.

Terhitung sembilan tahun telah berlalu semenjak sore indah di GBK.

Gulita dalam sepak bola Indonesia mulai terkikis oleh harapan-harapan baru. Kini mata para loyalis sepak bola Indonesia tertuju ke satu titik, menyambut datangnya bulan Desember.

Akhir tahun nanti, pada gelaran AFF Cup 2016 yang akan digulirkan di Filipina dan Thailand, timnas sepak bola Indonesia akan kembali memperjuangkan harapan-harapan yang masih tersisa.

Tak ada lagi kaki indah Bambang Pamungkas yang senantiasa membuat rumput stadion tertunduk takjub. Budi Sudarsono pun sudah terlampau uzur untuk bisa berlari sekencang dulu.

Namun, harapan masih tetap ada. Dan seperti kata Desmond Tutu, Hope is being able to see that there is light despite of the darkness.

Wahai punggawa merah putih. Perlu kalian tahu bahwa kami masih setia menunggu fajar yang sering kalian dongengkan bersama mantra-mantra syahdu Indonesia Raya. Dan perlu kalian tahu pula, bahwa kami tahu jika kalian tak pernah sekalipun berniat mengecewakan kami seperti halnya yang dilakukan oleh anjing-anjing di meja rapat PSSI.

Mari bersama menanti fajar Indah di Filipina, bersama simbol garuda yang melekat di dada dan lantunan-lantunan merdu Indonesia Raya.

SHARE THIS

0 Comments: