Rabu, 03 Agustus 2016

Menilik Jantung Radya Pustaka

Bangunan Museum Radya Pustaka (Dok.VISI/Fauzan)

Oleh: Herdanang Ahmad Fauzan

Masih ingat dengan Museum Radya Pustaka?

Kalau masih ingat, silahkan lanjutkan membaca tulisan ini. Kalau tidak, sebaiknya kamu kumur-kumur dan gosok gigi dulu sampai warna gigimu jadi seputih susu murni nasional. Kalau setelah itu tetap ndak ingat juga, berarti memang dasar standar otakmu yang belum memenuhi kriteria sebagai pembaca website ini. Hehe, he.

Beberapa bulan lalu, Radya Pustaka sempat menggemparkan peradaban kekinian lewat kabar penutupannya. Saking gemparnya, Line Today—bukti akan betapa gandrungnya anak muda terhadap smartphone—bahkan tak kuasa menghentikan kabar tersebut dari etalase mereka.

Walhasil, animo dan desakan masyarakat pun tersulut hingga melenyapkan rencana mati suri si Radya Pustaka. Terpujilah wahai Lee Hae-Jin. Berkat aplikasi beraksen hijau temuannya, museum yang berlokasi di samping Stadion Sri Wedari tersebut batal meledakkan diri.

Namun, pada tulisan kali ini saya tak akan membahas isu tentang bule Korea Selatan yang menyelamatkan warisan luhur bangsa, ataupun kabar penutupan Radya Pustaka yang memang sudah terlampau usang untuk dikupas. Pasalnya, setelah tak pikir-pikir, membangkitkan isu-isu tersebut justru akan semakin mengesankan penafikan terhadap daya tarik Radya Pustaka yang sesungguhnya.

Memangnya seperti apa sih daya tarik Radya Pustaka yang sesungguhnya?

Menafsirkan jawaban terhadap pertanyaan di atas tentu akan membuat pikiran kita dibumbui aneka ragam subjektifitas. Radya Pustaka sendiri—bagi saya yang tak terlalu menggilai sejarah ini—terlampau memikat untuk dijelaskan satu per satu keindahannya. Keindahan ini tentu tercermin berkat koleksi-koleksi benda sejarah mereka yang kelewat beragam, dari mulai arca, kitab-kitab kuno, hingga patung dan simbol-simbol bersejarah lainnya. Bahkan kasus pencurian sejumlah koleksi pada tahun 2007—yang diduga didalangi oleh Mbah Hadi, sang pimpinan museum—tak begitu saja melenyapkan keindahan Museum Radya Pustaka.

Tidak sampai di situ saja, koleksi-koleksi di Museum Radya Pustaka terbilang cukup monumental dan menjiwai betul budaya Jawa nan adiluhung. Tengoklah pada Pancasula misalnya. Pusaka yang konon telah lahir sejak zaman Kerajaan Mataram ini merupakan simbol filosofis cucuk lampah atau pembuka jalan. Pancasula seolah melambangkan makna bagaimana setiap permasalahan hidup selalu dapat dicari jalan keluarnya apabila seseorang rela menyabarkan diri.

Namun, bila harus memilih satu saja koleksi yang cukup mewakili keindahan Radya Pustaka dan kejawaannya, maka pilihan saya akan jatuh pada salinan Serat Centhini. Ibarat Radya Pustaka adalah keseluruhan anatomi tubuh, maka salinan Serat Centhini yang masih tersimpan rapi itu adalah jantungnya.

Anggapan di atas setidaknya tidak terlalu berlebihan jika kita mau mengenal isi dari Serat Centhini itu sendiri. Kitab dengan konten sya'ir setebal 4.200 halaman yang memuat 250.000 bait ini mengulas hampir semua unsur kebudayaan masyarakat Jawa, dari mulai pemerintahan, budaya, geografis, dan hal-hal lain. Dari mulai hal-hal mendasar sampai yang sifatnya kondisional—selama masih menyangkut kebudayaan Jawa—pasti pernah dibahas dalam kitab gagasan Pakubuwono V ini.

Naskah Serat Centhini. (Dok.Internet)
Secara garis besar, Serat Centhini menceritakan perjalanan hidup Syaikh Among Raga, salah seorang keturunan Sunan Giri yang minggat dari Keraton Giri usai diserang dan diduduki oleh koalisi tentara Sultan Agung dan Pangeran Pekik dari Surabaya. Kitab ini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri, yakni Jayengresmi, Jayengraga alias Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.

Lalu siapakah Centhini? Dalam untaian kisah itu, dituturkan Centhini adalah abdi setia dari istri Syaikh Amongraga yang bernama Tembangraras. Tokoh figuran ini ternyata menjadi "pewarta" setiap detail suluk dan pitutur serta syi'ar para Syaikh pada zamannya.

Denys Lombard, orientalis ternama asal Prancis bahkan tak segan memuji Serat Centhini dalam Le Carrefour Javanais karangannya. Ia menyebut bahwa Serat Centhini bisa saja menjadi "sastra acuan dunia” andaikan ada terjemahan versi modern-nya.

Ya, serat Centhini yang ditulis menggunakan aksara jawa ini memang belum sepenuhnya diterjemahkan ke tulisan latin dan bahasa universal. Hanya sebagian saja yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Belanda. Itu pun belum cukup mewadahi keseluruhan isinya.

Yayasan Centhini dulu memang pernah mencoba melakukan upaya transkripsi dan terjemah Serat Centhini ke dalam bahasa Indonesia. Namun, karena keterbatasan biaya, upaya tersebut berujung mangkrak dan hanya sampai pada jilid dua. (Bagi yang berminat, bisa membaca versi digital terjemahan jilid satu dan dua tersebut di sini)

Makin miris lagi karena setelah upaya Yayasan Centhini yang gagal, nyaris tak ada lagi usaha-usaha berarti untuk menerjemahkan keseluruhan isi kitab yang ditulis dalam aksara jawa tersebut. Padahal, masih banyak hal-hal yang belum terpublikasikan secara universal dari Serat Centhini.

Upaya yang dilakukan pihak Radya Pustaka sendiri dengan mengadakan event “Bedhah Serat Centhini” secara rutin seolah terasa belum berdampak, mengingat partisipannya yang pada prakteknya relatif sedikit dan segmentatif.

Bagaimanapun Serat Centhini, menurut saya, perlu mendapat perhatian yang masif sebagaimana perhatian para penggandrung smartphone (yang sempat saya singgung di awal tulisan) terhadap Radya Pustaka.

Tiada guna kita menyelamatkan bangunan tua Radya Pustaka tanpa menyelamatkan jantung tuanya yang makin melemah. Sebagai generasi penerus, kita tidak boleh buta akan pesan-pesan yang terkandung dalam Serat Centhini. Minimal, kita bisa menyempatkan diri untuk datang pada “Bedhah Serat Centhini” yang sering diadakan oleh pihak Museum Radya Pustaka.

Sesuai apa yang dikatakan Juri Lima dalam Architects of Deception, konon ada tiga cara untuk melemahkan suatu bangsa. Pertama, kaburkan sejarahnya. Kedua, hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu sehingga tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya. Dan ketiga, putuskan hubungannya dengan mengatakan bahwa leluhur itu bodoh dan primitif.

Ketiganya sedang dijalankan di Indonesia. Buka matamu!

* Sumber tulisan:

SHARE THIS

0 Comments: