Selasa, 05 Juli 2016

Narasi Dinding di Pasar Gede

Suasana Pameran Fotografi Market of Smile yang digelar di area Pasar Gede (04/07/2016). Acara ini diagendakan akan berlangsung hingga tanggal 11 Juli 2016 mendatang. (Dok.VISI/Fauzan)

"Kalau anda pergi ke suatu daerah dan ingin mengetahui kebudayaan asli daerah itu, pergilah ke pasar tradisionalnya."

4 Juli 2016, waktu menunjukkan pukul 13:00 WIB. Siang itu hawa panas di Pasar Gede masih sama seperti hari-hari biasa di bulan Juli. Dan seperti biasa pula, panas dan keringnya udara tak melunturkan suasana khas ramadhan yang makin mendekati Idul Fitri.

“Menjelang lebaran ya seperti ini. Pedagang di sini (Pasar Gede-red) tidak mengenal istilah libur,” jelas Amin (46). Lebih lanjut Amin juga merasa bersyukur. Pasalnya dengan tetap terjaganya konsistensi jam kerja di hari libur membuat pendapatannya sebagai juru parkir di Pasar Gede tetap mengalir.

Gairah Pasar Gede kian termanifestasi dalam deretan foto raksasa yang terpampang di sepanjang dinding bagian luar bangunannya, tepatnya di kawasan Jalan Urip Sumoharjo, Jebres. Kebetulan, siang itu Dinas Pariwisata Kota Solo sedang menyelenggarakan acara pameran fotografi yang menampilkan foto-foto wajah beberapa pedagang pasar tradisional di Solo. Acara bertajuk Market of Smile ini digulirkan pada tanggal 3-11 Juli 2016. Selain di kawasan Pasar Gede, pameran foto juga dilakukan di kawasan Pasar Triwindu dan Pasar Kembang pada waktu bersamaan.

Maryati (55), salah seorang pedagang di Pasar Gede mengaku menyambut dengan baik rangkaian acara dari Dinas Pariwisata tersebut. Menurutnya cara-cara unik seperti ini bisa menambah daya tarik yang dimiliki Pasar Gede. Trisno (51) yang juga sesama pedagang di Pasar Gede pun mengungkapkan hal serupa. “Saya mungkin tidak ke pasar besok hari Rabu. Tapi mulai Kamis sepertinya berjualan lagi. Terlebih acara puncak kegiatan ini akan diselenggarakan tanggal 8 sampai 11 besok.”

Sepintas tiada kesan aneh dari deretan foto yang dipamerkan pada Market of Smile. Nyaris tidak ada foto yang menyalahi ‘sunah-sunah fotografi’ baik dari segi komposisi, warna, ataupun kesesuaian tema. Deretan foto close up para pedagang menghiasi dinding bagian luar Pasar Gede, lengkap dengan caption foto yang berisikan nama serta usia masing-masing pedagang, tempat berjualan (nama pasar), berikut nama fotografer di setiap foto.

Ada sedikit hal yang mengganjal ketika saya mengamati satu per satu caption foto yang ada. Ternyata sebagian besar pedagang di pasar tradisional di Solo,terutama di Pasar Gedetelah menginjak usia diatas 45 tahun, usia yang terbilang sudah tidak muda lagi. Memang ada beberapa pedagang yang berusia 45 tahun ke bawah, bahkan ada yang di bawah 30 tahun. Namun, jumlahnya tidak banyak.

Fenomena ini seolah-olah telah mengirim kembali Pasar Gede ke zaman purba. Tidak seperti gambaran pasar modern yang hype dan dipenuhi kawula muda, siang itu Pasar Gede benar-benar terlihat menjadi kebalikannya. Kondisi pengunjung pasar yang juga didominasi “kaum senior” seolah mengamininya. Kesan purba yang kental di Pasar Gede menggambarkan kurang adanya ketertarikan dari generasi muda untuk mempertahankan eksistensi pasar tradisional secara langsung.

Jangankan jadi penjual, jadi pembeli saja belum tentu rela. Generasi muda sekarang justru lebih senang berbelanja di swalayan dan pasar-pasar modern lainnya ketimbang di pasar tradisional. Kondisi ini tentu sangat berpeluang membahayakan eksistensi pasar-pasar tradisional di Indonesia.

Sudah merupakan rahasia publik jika saat ini kondisi pasar tradisional sangat terdesak oleh menjamurnya pasar-pasar modern. Pada tahun 2014 saja, pertumbuhannya mengalami minus 8,1%. Situasi yang berbanding terbalik jika kita komparasikan dengan pasar modern yang mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar 31,4% pada tahun yang sama.

Lantas, mengapa kita harus kembali menguatkan pertumbuhan dan eksistensi pasar tradisional?

Di pasar tradisional, banyak elemen dalam masyarakat yang saling mempertautkan diri. Mari kita ambil satu contoh kecil. Katakanlah di dalam suatu pasar tradisional terdapat pedagang, peternak, kuli panggul, nelayan, penjagal ayam, hingga penggiling padi. Jika pasar tradisional tersebut hilang, bayangkan ada berapa saudara kita di negeri ini yang akan kehilangan mata pencahariannya?

Selain itu, dalam hal kedekatan sosial pasar tradisional juga memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan pasar modern. Ada semacam interasksi dan tenggang rasa, yang tidak bisa begitu saja dijumpai pada pasar modern.

Kearifan-kearifan lokal daerah setempat juga bisa kita jumpai di pasar tradisional. Kearifan lokal 'jual-tukar' di Pasar Terapung Lok Baintan misalnya, yang tidak akan dapat kita temui di pasar-pasar tradisional lain termasuk di Pasar Gede. Atau tradisi hiburan unik di Pasar Sanur Denpasar yang tidak pula bisa kita temui di pasar-pasar lain.

Generasi muda pun sejatinya punya banyak saluran alternatif yang bisa mereka gunakan untuk turut serta mempertahankan kelestarian pasar tradisional setempat. Selain partisipasi langsung dalam hal jual-beli, cara paling sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan memberi pendampingan kepada generasi lanjut yang buta terhadap teknologi dan inovasi. Pendampingan yang dimaksud tentu dalam berbagai aspek yang memungkinkan, mulai dari tata kelola ruang, keuangan, hingga pengelolaan lingkungan. Bentuknya boleh tradisional, tapi manajemennya tidak boleh ketinggalan zaman. (Fauzan)

SHARE THIS

0 Comments: