Kamis, 30 Juni 2016

Wayang Orang Sriwedari, Eksistensi dalam Kemelut Modernisasi

Dok.Internet

Gedung berarsitektur kuno yang masih berdiri kokoh di samping Taman Hiburan Sriwedari malam itu, Sabtu (21/5/2016) tampak dipadati pengunjung. Sejumlah pengunjung membentuk barisan berbanjar di sebelah barat gedung untuk membeli tiket pertunjukan wayang orang. Kami pun menuju loket yang sama untuk mendapatkan dua tiket. Hanya berbekal Rp 3000,- masing-masing kami memegang satu tiket. Harga yang terbilang sangat murah untuk sebuah pertunjukan wayang orang.

Masuk ke dalam gedung pertunjukan, kami telah disambut ruangan yang setengah gelap, dan kursi penuh penonton di setiap barisnya. Pemandangan panggung yang tertutup tirai bermotifkan gunungan tampak paling mencolok di dalam ruangan akibat tersorot lampu berwarna kuning. Sembari menunggu penampilan para pelaku wayang orang, penonton disuguhkan alunan tembang dengan iringan tabuhan gamelan.

Tepat pukul 20.30 WIB, alunan tabuhan gamelan terdengar semakin meninggi seiring dengan terbukanya tirai yang menutupi panggung. Lampu-lampu gedung yang tadinya masih menyala pun mulai dimatikan. Menjadi penanda bahwa pertunjukan wayang orang sudah dimulai. Satu per satu lakon keluar lengkap dengan kostum dari peran yang mereka bawakan. Pun cara bicara, gerakan tubuh, bahkan fisik mereka pun disesuaikan dengan tokoh wayang yang diperankan. Sesekali lampu dimatikan sebagai penanda setting tempat telah berganti.

Di tengah pertunjukan, kami menuju belakang panggung untuk menemui narasumber kami. Dengan diantarkan Dwijanti (33) salah satu pemain wayang orang di sana, kami dibimbing untuk memasuki ruangan di belakang panggung. Suasana ruangan kali ini berbeda dari yang sebelumnya. Dari luar, ruangan ini tampak kecil dan sempit, namun setelah masuk ruangan itu cukup luas. Aroma khas dupa menyeruak di dalam ruang. Berbagai kostum wayang beserta aksesoris yang tertata rapi dalam almari dan meja tata rias berjajar rapi disepanjang sisi ruangan. Kami terus masuk ke bagian dalam ruangan, melewati beberapa  pintu penghubung satu ruang ke ruang yang lain. Tibalah kami di salah satu ruangan yang berisikan lima wanita yang tengah menata riasan wajahnya.

Kedatangan kami bersama Dwijanti disambut Ernie Mulyanti, Sekretaris di Gedung Wayang Orang Sriwedari dan penggiat seni wayang orang yang menjadi narasumber kami. Wanita 48 tahun itu telah mengabdikan dirinya dalam seni tari dan wayang orang sejak tahun 1993 hingga sekarang.

Baginya, wayang orang bukan sekedar budaya, namun pendidikan yang perlu dilestarikan. “Pertunjukan wayang orang di gedung Sriwedari ini menjadi salah satu warisan budaya yang hanya ada di Kota Solo. Dan bukan sekedar budaya, tapi warisan budaya yang mengandung filosifi pendidikan,” tutur Ernie.

Sempat Jatuh Bangun

“Sejak awal kemunculannya sekitar tahun 90-an, wayang orang langsung menjadi salah satu pertunjukan seni yang berhasil menyedot perhatian masyarakat Solo dan sekitar,” kisah Ernie. Ernie menambahkan, pertunjukan yang tayang setiap hari dengan alur cerita yang selalu berbeda kala itu tak pernah sepi penonton.

Ernie mengisahkan pertunjukan seni wayang orang pun sempat tergoncang dengan arus globalisasi. Hal itu berdampak dengan bergesernya minat masyarakat yang enggan menonton pertunjukan wayang orang lagi. “Nah, waktu awal tahun 1995 itu, jumlah penontonnya turun drastis, kalo biasanya bisa full itu cuma sepuluh sampai dua puluh orang saja,” ungkap Ernie sambil mengenang masa lalu.

“Tapi namanya kami itu pelaku seni, jadi hidup kami itu hanya untuk berkarya seni. Mau yang nonton itu sepuluh atau dua puluh bahkan cuma lima orang saja. Kami tetap terus menampilkan pertunjukan wayang orang,” imbuhnya.

Ernie mengungkapkan pertunjukan seni wayang orang merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan. Ernie beserta seniman yang lain menjadi pelaku wayang orang di gedung Sriwedari bukan hanya sebagai profesi, namun jiwa mereka telah mendarah daging dengan seni itu sendiri. “Kami di sini telah bertekad bulat kalo akan terus melestarikan warisan budaya yang mulai langka ini,” tekadnya.

Kerja keras dan sikap pantang menyerah Ernie bersama tim pun akhirnya berbuah manis. Di tahun 2000, gedung wayang orang kembali dipadati penonton mulai dari yang usia muda hingga dewasa. “Berbagai upaya inovasi kami lakukan, mulai dari memadatkan durasi pertunjukan, publikasi lewat media sosial bahkan kerjasama dengan agen tour travel,” jelas Ernie.

Ernie menegaskan selama ada kemauan, keinginan dan semangat pelestarian budaya itu ada di dalam diri masing-masing maka dengan sendirinya akan muncul tindakan untuk pelestarian.


Rupanya seni pertunjukan wayang orang Sriwedari ini, tidak hanya dinikmati oleh pecinta seni dari Kota Solo saja, namun juga mereka yang ada di luar Solo. Lolo Fajar Kurniawan (25) adalah salah satunya. Warga Ngawi tersebut menjelaskan pertunjukan wayang orang yang masih eksis hanya ada di Kota Solo. “Saya muter-muter di kota-kota lain, tidak ada pertunjukan wayang orang seperti di Sriwedari ini,” aku Lolo.

“Ini pertama kalinya nonton wayang orang di sini, pengen tahu tentang cerita sama wayang orang apakah sama kayak yang diceritain buyut saya,” jelas Lolo saat ditemui reporter VISI, sebelum panggung wayang orang dimulai. (Salma)

SHARE THIS

0 Comments: