Senin, 02 Mei 2016

Demi Ibu...

 Dok.internet
Oleh: Bima Mulya Perdana

Hai namaku Rama, mereka semua biasa melihatku dengan ganas dan aku hanya bisa menunduk. Mungkin mereka pikir, aku anak sok alim yang cuma numpang salat di unversitas sebesar ini. Tapi tidak! Aku disini karena ibu. Ibu yang mengajarkanku untuk selalu mengikuti arus kehidupan.

Pagi ini, aku sudah menginjak lantai 3. Padahal ini masih jam 4. Terkadang aku enggan bangun pagi, lalu mandi tanpa sarapan dan segera bergulat dengan sampah yang menumpuk disekolah. Aku sudah mematenkan hatiku, aku kuliah untuk menuntut ilmu dan demi ibu. Aku tidak ingin ibu bersusah payah membantu membayarkan sekolahku dan sementara itu aku hanya enak-enakan. Aku bertekad untuk membantu ibu, aku bekerja untuk meringankan biaya kuliahku.

Yak! Kuliah dosen killer akan segera dimulai, aku sangat senang disaat seperti ini. Saat semua siswa tanpa mengenal derajat berdesak – desakan, berlarian menuju tangga dan memasuki pintu dengan berbagai jurus, inti dari jurus mereka sebenarnya cukup rumit tapi mudah dicerna, yaitu “Yang Penting Tidak Telat”. Terkadang aku geli melihat tingkah mereka dari dalam kelas, ingin tertawa, tapi untuk melihat mereka saja aku tidak punya nyali.

“Attention, please?”, samar aku mendengarnya. Ya, pelajaran Bahasa Inggris, jujur aku tidak suka karena sungguh aku tidak pernah mengerti apa yang diajarkan Miss Leah ini. Aku lebih suka melihat teman sebangkuku yang sangat cerdas tapi beruntung sekali, dia rendah hati. Dia tampan, baik dan cerdas, berbanding terbalik denganku yang kumuh, bisa dibilang ilmunya pas-pasan. Tapi aku tidak malu, karena aku tetap berusaha dan itu semua demi ibu.

Dan akhirnya, waktu istirahat datang. Aku menyempatkan untuk salat sunnah sebentar, menenangkan pikiran. Kemudian, berlari ke kantin dan mengerjakan tugas disana. Ini tugas yang sangat banyak. Aku bisa saja mengeluh hingga berpuluh kali perhari. Tapi, itu tidak akan mengurangi beban tugas ini. Aku berkutat dengan tugas ini cukup lama. Dan tak sadar kalau sekarang aku ada jam kuliah.

Aku segera beranjak menuju kelas dan sialnya dosenku sudah datang. aku masuk ke ruangan dengan berjinjit agar tidak ketahuan dan akhirnya selamat. Waktu salat Zuhur tiba. Seperti biasanya aku mendengar cibiran, “hai anak ustadz” selalu dan setiap saat aku akan pergi ke masjid, mereka selalu menyapaku. Sejujurnya, aku senang mereka sapa. tapi di sisi lain, aku berharap mereka menyapaku dengan sebutan yang lebih menyejukkan telinga. Tapi aku tidak terlalu berharap, toh mereka sebenarnya tidak menyapaku, tapi menginjak – injakku secara tidak langsung. Aku hanya bisa berlalu dan segera menyegarkan wajah sekaligus hatiku. Saat aku memasuki ruangan yang sangat sejuk walau hanya ada satu kipas angin. Tapi, dibanding ruangan lain, hanya ruang ini dan perpustakaan yang membuatku nyaman, tenang dan damai. Disini, aku panjatkan doa kepada Tuhan. Aku berharap agar Tuhan memberiku arus kehidupan menuju Surga-Nya dan selalu melindungi ibu yang selalu diterpa sinar matahari sampai kulit keriputnya tak lagi nampak. Hanya beberapa bekas luka yang timbul saat ibu sedang mengais sampah di komplek dekat rumah. Aku selalu berdoa agar Tuhan mengabulkan doaku.

Sebenarnya, apa yang temanku bicarakan benar. Tapi tunggu, teman? Kukira hanya aku yang menganggap teman dan mereka hanya menganggapku pecundang. Ya! Menurutku memang benar, kalau aku disini hanya numpang salat. Karena setiap istirahat, aku ini selalu meluangkan waktuku untuk salat. Sebenarnya, aku punya alasan. Alasanku ya cuma satu, karena hanya Tuhan yang bisa menolongku dengan ibu. Sedih rasanya saat sadar bahwa hanya Tuhan yang bisa menolongku. Ah tapi apa peduli, aku akan terus berusaha sebisaku. Setidaknya, aku menghargai arus yang diberikan Tuhan dalam kehidupanku.

Jam kuliahku sudah habis. Ini saatnya aku bekerja di Cafe dekat kampus. Gajinya memang tidak terlalu besar tapi setidaknya cukup untukku dan membantu ibu. Aku terpaksa bekerja karena pemasukan ibu tidak mencukupiku. Aku tahu tugasku banyak. Mau bagaimana lagi, toh aku juga butuh. Aku bekerja sampai pukul 8. Dengan sigap aku membantu pelanggan memesan dan mengantarkan pesanan. Kulakukan dengan baik dan sabar. Hingga jam tanda pulang berbunyi. Aku segera membereskan Cafe dan pulang.

Malam ini, saat aku membuka gubuk ibu, aku melihat siluetnya yang sedang menyelimuti dirinya. Aku sadar itu ibu. Dan samar kudengar ia terbatuk. Dan lirih, sangat lirih aku merasa ia menanyaiku, “sudah pulang kau nak?” nada suaranya bergetar. Aku hanya menganggukkan kepalaku dan mendekatinya, memberinya minum dan mengecek suhu tubuhnya. Dan benar, aku bisa merasakan kehangatan yang aneh ditubuh ibu. Aku khawatir, sangat khawatir. Aku ingin membawa ibu ke dokter, tapi ibu bilang tidak ada uang lagi, selain uang yang ibu dapat dari hasil jadi pemulung hari ini. Tapi sungguh, aku rela tidak makan besok demi membawa ibu kerumah sakit. Dengan meminjam becak dari tetanggaku, aku meluncur dengan penuh keringat, menggowesnya dengan penuh khawatir. Sesekali, aku menengok kearah dimana ibu duduk dan aku hanya memastikan dia masih bernapas.

Kekhawatiranku memuncak, aku melihat ibu sudah dingin. Dan itu tepat saat aku bisa mencapai gerbang rumah sakit. Aku berteriak sekencang yang kubisa dan semua pandangan tertuju padaku. Aku tahu aku ini bukan lagi bocah, aku sudah menjadi mahasiswa. Tapi untuk melihat keadaan ibu, jujur aku tak kuasa menahan air mata. Benar saja, semuanya tiba – tiba mendekatiku membopong ibu dengan sigap. Tak seperti aku, yang cuma bisa menangis, berteriak dan melongo. Aku hanya bisa melihat ibu masuk ke dalam sebuah ruangan yang bertuliskan “ICU”. Sekelebat bayangan, aku teringat kata”ICU”. Ya! Aku ingat, tepat diruangan yang bertulisakan “ICU” aku kehilangan abah. Abah yang selalu mengajarkanku tentang bagaimana aku harus menjalani arus hidup. Tiba – tiba aku merasakan pilu didalam hatiku. Aku takut aku bakal kehilangan ibu. Aku takut tidak ada yang membimbingku lagi untuk menghadapi persaingan hidup. Dan benar saja, tidak lewat semenit, aku lihat seorang dokter dengan raut muka yang sangat sulit untuk ditebak dan dia ternyata memanggilku sedari tadi. “ nak, kamu telah kehilangan ibumu” kata dokter itu dengan lirih. Hening... tak bergeming, mulutku masih menganga dan tanpa sadar mataku mengeluarkan linangan airmata yang hampir 7 tahun tidak kukeluarkan setelah kehilangan abah. Aku paham aku sudah dewasa, tapi untuk menahan air mata ini,

Aku sempat terpukul. Dan memutuskan tidak masuk kuliah. Tapi, aku tetap bekerja. 3 hari setelah masa terguncang, aku segera masuk dan mengejar ketertinggalan. Aku belajar lebih keras. Aku memberanikan diri untuk bertanya pada teman ketika aku buntu. Akhirnya, aku dapat bantuan dari teman sebelahku. Dia mau dan rela membantuku setiap istirahat. Kadang, ia malah membelikanku makanan. Dia tahu aku kekurangan. Dan setiap gajian, aku selalu mentraktirnya makan. Aku juga bekerja lebih keras, lebih disiplin dan lebih larut. Aku memang sedikit kewalahan. Lihatlah, banyak tugas terbengkalai. Tapi, aku tetap berusaha menemukan cara agar aku tetap dapat membagi waktu. Aku senang.

Aku mulai menghitung tabunganku, sudah banyak. Aku tetap bekerja dari sore hingga malam, bahkan lebih malam dari biasanya. Dan pagi sekali sebelum kuliah, aku menyempatkan diri untuk mengerjakan tugas. Tidak buruk. Nilaiku sudah naik. Bahkan diatas rata – rata. Dimas, teman sebelahku yang mengajariku. Setidaknya, ketika aku bertanya dia tidak keberatan menjawab

Tak terasa aku sudah melalui skripsiku. Dan hari ini saatnya sidang. Aku takut. Sungguh. Tapi aku ingat pesan ibu yang selalu bilang kalau aku pasti bisa. Aku tangguh. Aku bisa melewati setiap arus. Dan hari ini adalah pembuktian. Dengan yakin aku melewati sidang. Dan yakin pula dengan hasilnya.

Hari wisuda tiba, dan akhirnya aku tahu kalau usahaku tidak sia sia. Aku mendapat IPK yang cukup yaitu 3.7. aku kelewat senang. Bahkan girang. Beberapa teman memberiku selamat. Yang lainnya memicingkan mata. Tapi aku tak peduli. Aku senang dan bersujud. Dan aku menutup mata.

Ketika aku membuka mata, kenangan itu semua terangkai seperti kolase. Dan sekarang aku membuka mataku, aku hirup udara segar disini. Aku hampir lupa, kalau aku berdiri disini karena ibu dan Tuhan. Ibu mengajarkanku untuk menghargai hidup dan Tuhan telah membimbingku. Disini, didepan kursi direktur, aku bersujud. Aku tak kuasa menahan air mata bahagia ini. Aku sempat tersenyum kecut membayangkan yang aku lalui bersama ibu dan kenangan pahit itu. Semua tersusun rapi seperti sebuah kolase film. Aku berharap, aku masih bisa menceritakan pengalaman pedih, pahit yang aku alami kepada anakku. Aku akan bangga saat aku bilang, “ayahmu ini, bisa jadi seperti ini karena ibu” aku akan selalu ingat ibu. Saat ibu menyentuh rambutku, memuji nilaiku, mengusap kepalaku, menepuk pundakku. Semua terkenang indah di sekelebat memori yang aku bayangkan sekarang. “ mbok, ini aku anakmu, sekarang aku bisa berdiri disini karena Tuhan dan aku bersyukur punya beribu nasehat yang telah kau beri padaku” kataku lirih saat berada di pusara ibu.

Lalu, aku berjalan menjauh dari pusara, aku pergi dan aku berkata dalam hati, “ini persembahanku ibu! Terimakasih Tuhan!”...

SHARE THIS

0 Comments: