Sabtu, 11 Januari 2014

Bahasa dalam Integritas Masyarakat Indonesia

Oleh : Ilham F. Maulana

Saat ini tidak kurang bahasa etnik atau daerah di Indonesia berjumlah sekitar 746 bahasa yang tersebr di 17.508 pulau. Bahasa daerah ini memiliki andil besar dalam hal kehidupan sosial masyarakat, khususnya masyarakat etnik itu sendiri. Etnik atau ethnic groups secara umum dipahami sebagai masyarakat suku, atau masyarakat yang secara tradisi memiliki persamaan identitas. (Brata, 2007: 1)


 Bahasa daerah atau etnik lebih mampu menjadi alat komunikasi dalam hal menciptakan kedekatan sesama pengguna bahasa daerah yang sama. Seperti orang Jawa dengan orang Jawa, orang Bugis dengan orang Bugis dan sebagainya. Karena masyarakat dan bangsa Indonesia yang majemuk, maka penutur bahasa Indonesia memperlihatkan corak yang monolingual atau bilingual. Sehubungan dengan pemakaian bahasa asing, misalnya, corak itu akan berubah menjadi multilingual pada kelompok penutur tertentu. Kelompok monolingual umumnya adalah mereka yang tinggal di pedalaman atau perdesaan terpencil dan termasuk ke dalam lapisan masyarakat yang tidak/kurang memperoleh pendidikan formal karena mereka hanya menguasai dan menggunakan satu bahasa saja, yaitu bahasa daerahnya. (Kurniawan, 2008: 3). 

Sehubungan peran bahasa daerah dalam kehidupan sosial masyarakat, lebih mengarah pada hal yang bersinggungan dengan masalah budaya atau adat. Seperti pernikahan atau acara-acara yang dimana bahasa daerah dipergunakan didalamnya, atau biasa digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di dalam keluarga atau di masyarakat. Melihat fungsi bahasa daerah tersebut tampak bahwa bahasa daerah mampu membawa suatu kedekatan tersendiri bagi penggunanya, sehingga mampu menciptakan integritas tertentu dalam komunikasi yang terbentuk. Komunikasi ini lebih memunculkan rasa memiliki dan keakraban yang secara tidak langsung terbentuk, karena ada rasa asal yang sama, leluhur yang sama, senasib, seperjuangan dan sebagainya.

Meski begitu bahasa daerah secara tidak langsung menciptakan rasa bangga terhadap daerahnya sendiri dibandingkan dengan daerah lain. Yakni mengakibatkan kurangnya penghargaan terhadap budaya lain, dan merasa budayanya adalah budaya terbaik atau lebih dikenal sebagai primordialisme. Hal ini menjadi ancaman untuk dapat terciptanya integritas sosial, di Indonesia sendiri hal ini sering menjadi pemicu utama gagalnya integritas sosial.

Peran bahasa di Indonesia sendiri sebagian besar masih diperankan oleh bahasa daerah hal ini terbukti dengan sekarang ini menurut sensus Badan Pusat Statistik (1990), kemajuan pemakai bahasa Indonesia sangat mengesankan. Di antara penduduk yang berusia lima tahun ke atas terlihat tiga kelompok. Pertama, anggota masyarakat yang memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari kira-kira 24 juta orang atau sekitar 15%. Kedua, orang yang mengaku dapat berbahasa Indonesia tetapi tidak memakainya sebagai alat komunikasi sehari-hari berjumlah 107 juta orang atau sekitar 68%. Ketiga, orang yang belum paham bahasa Indonesia masih 27 juta orang atau sekitar 17% dari jumlah penduduk Indonesia saat itu. Diproyeksikan oleh BPS, pada tahun 2010 (bersamaan dengan era perdagangan bebas di kawasan Asia-Pasifik), semua orang Indonesia di atas lima tahun atau 215 juta orang (hampir sama dengan jumlah penduduk Indonesia sekarang) dapat memahami bahasa Indonesia dengan berbagai tingkat kemahiran. (Kurniawan, 2008: 2)
Dengan jumlah bahasa daerah yang sangat banyak dan beragam tersebut, serta jumlah penggunaannya yang sangat tinggi akan cukup sulit bagi Indonesia untuk dapat menciptakan adanya integrasi sosial. Hal ini dikarenakan adanya primordialisme dan juga etnosentrisme yang tinggi di masyarakat. Lagipula penggunaan Bahasa Indonesia pun kecil jumlahnya. 

Maka akan muncul pertanyaan bagaimana cara untuk menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut? Sebelum kita membahas mengenai hal tersebut maka kita perlu mencari tahu hubungan fungsional dari bahasa itu sendiri, oleh Marry L. Barker bahasa pada dasarnya memiliki tiga fungsi dasar yakni penamaan atau labeling, transmisi informasi dan interaksi (Barker dalam Mulyana, 2010: 266). Pada fungsi interaksi bahasa memiliki kemampuan untuk membuat kita berkomunikasi, bergaul, dan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan kita. Melalui bahasa kita dapat mengendalikan lingkungan kita, termasuk orang-orang yang ada disekitar kita. Melihat fungsi interaksi dapat diketahui dengan bahasa kita mampu mengendalikan orang-orang sesuai dengan kebutuhan kita. Maka salah satu cara mengendalikan perbedaan atau menciptakan integrasi adalah dengan bahasa. 

Indonesia sendiri menggunakan satu bahasa kenegaraan atau bahasa resmi yakni Bahasa Indonesia. Hal ini telah diatur Berdasarkan UUD 1945 bab XV pasal 36 Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi atau bahasa Negara. Dengan bahasa maka dapat diciptakan suatu integrasi di dalam masyarakat luas. Bahasa persatuan dimana ini menunjukkan Sebagai identitas bangsa atau negara maka bahasa Indonesia menjadi ciri atau tanda yang membedakan dengan bangsa lain atau negara lain. Identitas ini bisa saja menjadi salah satu faktor kebanggaan pada sebuah bangsa, yang kadang-kadang diiringi dengan sikap merendahkan atau menganggap aneh identitas bangsa lain. (Brata, 2007: 3)

Identitas ini tidak stabil atau baku akan tetapi selalu berproses lewat wacana untuk berkomunikasi, sehingga identitas selalu terjaga, dinamis, berubah, atau malah musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang berupa Bahasa Indonesia maka bisa jadi ini adalah awal dari disintegrasi negara Indonesia. Tidak ada lagi alat komunikasi sesama warga Indonesia yang menjadi kebanggaan bersama, masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau bangga dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.

Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan terbesar memiliki beragam budaya, bahasa, dan suku. Bahasa-bahasa lokal yang disebut bahasa daerah, besar ataupun kecil, kuat ataupun lemah, adalah salah satu komponen dan “sarang” kebudayaan masyarakat pemiliknya, khazanah kebudayaan nasional, sarana berpikir primordial (Masinambow dalam Mbete, 2009:97).

SHARE THIS

0 Comments: