Senin, 06 Agustus 2012

ETIKA WAKTU PENAYANGAN PROGRAM TV


BY : YULIA NOOR WIBAWATI
“Masalah paling mendasar bukanlah jumlah jam yang dilewatkan si anak untuk
menonton televisi, melainkan program-program yang ia tonton…”
(Keith W. Mielke)

Media massa merupakan salah satu hal yang saat ini sangat pesat perkembangannya. Melalui media, segala hal bisa tersampaikan dengan cepat. Ada beberapa macam media, mulai dari media cetak, media elektronik, hingga cyberspace. Berbicara mengenai media elektronik, televisi merupakan salah satu media yang paling efektif dalam menyampaikan pesannya. Televisi mampu menjangkau khalayak yang relative  besar. Pengaruh televisi begitu vital dalam masyarakat karena televisi mempunyai beberapa fungsi sebagai bagian dari komunikasi massa. Adapun fungsi tersebut (De Vito, 1997:515–517) adalah: menghibur, meyakinkan, menginformasikan, menganugrahkan status, membius dan menciptakan rasa kebersatuan.
Kebanyakan aktifitas menonton televisi berawal dari sebuah kebutuhan akan informasi yang kemudian berpola dan menjadi semacam ritual keseharian. Aktivitas menonton televisi adalah suatu proses yang rumit, terjadi dalam praktik domestik, yang hanya dapat dipahami dalam konteks kehidupan sehari-hari. Kini, menonton televisi telah menjadi salah satu aktivitas keseharian yang paling digemari di kalangan anak-anak. Televisi mempunyai tempat dan daya tarik tersendiri bagi mereka. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa rata-rata anak usia Sekolah Dasar menonton televisi antara 30 hingga 35 jam setiap minggu. Artinya, seorang anak menghabiskan waktunya di depan televisi sekitar 5 sampai 6 jam setiap harinya[1]. Pendek kata, praktik menonton televisi sudah menjadi praktik rutin dalam kehidupan sehari-hari (everyday life culture) yang mana hampir setiap hari anak-anak memiliki waktu tersendiri untuk menonton program televisi.
Sementara itu, anak-anak sedang dalam proses sosialisasi nilai-nilai dan pembelajaran untuk menjadi manusia dewasa. Masa anak-anak adalah suatu tahapan pertumbuhan dan perkembangan dalam kehidupan seseorang dimana pada masa itu seseorang mengalami suatu proses perubahan baik secara fisik maupun psikis. Untuk itu, anak-anak berkomunikasi dengan orang tua, teman sebaya, dan orang lain di sekitarnya (significant others) di dalam aktivitas kesehariannya melalui institusi-institusi yang kemudian di identifikasikan sebagai agen-agen sosialisasi utama, yakni keluarga, kelompok bermain, sekolah dan media massa, tempat dimana dia berinteraksi. Menonton televisi adalah sebuah sosialisasi yang dialami anak-anak sebagai bentuk penyesuaian diri mereka terhadap lingkungannya. Tentu saja, kehadiran televisi, di dalam praktik menontonnya pada anak-anak, membawa sejumlah implikasi tertentu yang tak jarang menimbulkan berbagai perdebatan, dan relasi anak dengan televise sering menjadi persoalan yang problematik.
Kebanyakan kalangan bersikap apatis dan pesimis terhadap posisi anak sebagai audiens televisi. Bahkan, cenderung menegasikan anak-anak di dalam interaksinya dengan televisi. Neil Postman[2] dalam bukunya “The Disappearance of Childhood” (Lenyapnya Masa Kanak-Kanak), menyebutkan bahwa sejak tahun 1950, televisi di Amerika telah menyiarkan program-program yang seragam, dan anak-anak sama seperti anggota masyarakat lainnya, menjadi korban gelombang visual yang ditunjukkan televisi. Penelitian lainnya seperti penelitian Hery Wahyuningtyastuti[3] telah menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara kebiasaan anak menonton film-film keras di media televisi dengan kenakalan anak. Siti Wahyu Iryani dan Sumarwi Astuti[4] juga menemukan pengaruh menonton acara televisi bagi anak. Dalam hal ini, anak-anak cenderung dalam posisi penerima pesan yang pasif.
            Dampak negative menonton televisi pada anak merupakan hal yang saat ini sangat sering ditemukan. Hal tersebut salah satunya dikarenakan waktu penayangan program televisi. Dewasa ini, kebanyakan stasiun televisi hanya mementingkan rating, program acara yang menghibur, ditonton oleh segala usia, di isi banyak iklan, dan semata-mata hanya mementingkan keuntungan dari pihak stasiun televisi tersebut. Kebanyakan program acara televisi nyatanya tidak memenuhi standar batas tayang program. Dalam buku Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran terdapat penempatan program yang harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:
Program klasifikasi “A” hanya dapat disiarkan pada :
-          pukul 07.00 – 09.00 dan 15.00– 18.00 di hari Senin-Sabtu
-          pukul 07.00 – 11.00 dan 15.00 – 18.00 di hari Minggu/libur nasional
Program dan promo program klasifikasi “R” hanya dapat disiarkan pada :
-          pukul 09.00 – 20.00 namun harus di luar jam yang khusus diperuntukkan bagi anak ( 15.00 – 18.00)
Program klasifikasi ‘SU’ dapat disiarkan pada:
-          seluruh jam siar               
Program dan promo program klasifikasi ‘D’ hanya dapat disiarkan pada:
-          pukul 22.00 – 04.00
Keterangan Klasifikasi penggolongan program :
  • A         : Tayangan untuk Anak, yakni khalayak berusia di bawah 11 tahun
  • R         : Tayangan untuk Remaja, yakni khalayak berusia 12-18 tahun
  • D         : Tayangan untuk Dewasa
  • SU       : Tayangan untuk Semua Umur
*sumber: buku Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang terdapat pula pembahasannya pada Undang-Undang Penyiaran Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran dengan persetujuan DPR dan Presiden RI[5]
            Dari data tersebut terlihat jelas waktu penayangan yang ideal untuk program acara apa saja yang ditujukan pada anak-anak, remaja, hingga dewasa. Namun masih ada pula stasiun-stasiun televisi swasta yang melanggar batas waktu penayangan klasifikasi, khususnya untuk anak-anak. Seperti misalnya, MNC TV. Stasiun televisi ini memang cukup terkenal untuk program acara anak. Salah satu program acara untuk anak yang saat ini sedang digemari adalah “Shaun The Sheep”. Tayangan kartun ini ditayangkan setiap hari pada pukul 17.30-18.30 WIB.  Padahal, untuk klasifikasi program anak-anak seharusnya ditayangkan maksimal pukul 18.00. Pada kenyataannya, tidak hanya program acara “Shaun The Sheep” yang melanggar etika waktu penayangan. Di stasiun televisi seperti Global TV, kartun “Spongebob Squarepants” juga masih menjadi “primadona”. Acara kartun itu bahkan tidak hanya muncul sekali dalam sehari, melainkan sudah dimunculkan sejak pagi hari pukul 05.00 WIB dan hadir lagi pada pukul 17.00-18.30 WIB.
Jika melihat lagi ketentuan dalam buku Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, program acara “Shaun The Sheep” dan “Spongebob Squarepants” sebenarnya telah melanggar etika jam tayang untuk program acara anak-anak. Dalam kasus “Spongebob Squarepants” jadwal penayangan terlalu “mencuri start” jam tayang untuk anak. Padahal, di pagi hari, anak-anak seharusnya mempersiapkan diri untuk ke sekolah. Sementara itu, dengan kehadiran “Spongebob Squarepants” bisa jadi mengakibatkan anak-anak malas untuk sekolah. Disamping itu, tayangan “Shaun The Sheep” dan “Spongebob Squarepants” (petang) juga melanggar batas maksimum penayangan program anak. Pada jam tersebut seharusnya anak-anak diarahkan untuk belajar, bukan justru menonton televisi. Namun, dengan kehadiran kartun-kartun tersebut anak-anak yang seharusnya belajar menjadi tersita perhatiannya karena lebih memilih menonton televisi.
Program – program acara yang ditayangkan dalam televisi sebenarnya tidak semuanya menyalahi etika jam tayang. Salah satu contohnya adalah acara “Mata Lelaki” di Trans7. “Mata Lelaki” adalah sebuah program klasifikasi dewasa yang berisi tentang persepsi laki-laki mengenai segala hal yang menjadi trend, segala hal yang ada disekitar laki-laki, dan segala hal tentang wanita. Acara ini menampilkan keseksian wanita dan segala hal yang mengelilinginya. Program ini menyajikan cara pandang laki-laki terhadap wanita. Program acara ini tayang setiap hari Selasa pukul 00.15 WIB di stasiun televisi Trans7.
Program acara “Mata Lelaki” merupakan salah satu acara yang sudah memenuhi standar jam tayang dari televise. Acara berlangsung pada dini hari, sesuai dengan segmentasi audiens yang dituju, yakni orang dewasa. Penempatan waktu jam tayang program acara ini dirasa sudah tepat karena biasanya pada jam tersebut anak-anak sudah tidur terlelap, dan tinggal orang dewasa yang masih bangun untuk melihat program acara tersebut.
            Pada dasarnya, jam tayang dan konten program acara pada televisi adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Konten merupakan isi atau konsep program acara televise. Hal ini misalnya menyangkut jenis program acara dan tujuan program acara. Sementara jam tayang televisi adalah waktu yang ideal untuk sebuah tayangan. Penayangan program televisi harus memperhatikan konten acara yang akan disiarkan. Begitu juga sebaliknya, jam tayang suatu program acara selayaknya sesuai dengan konten acara yang dibuat oleh media. Jadwal penayangan maupun konten acara merupakan hal yang tidak boleh terabaikan satu sama lain. Sebab ketika jadwal penayangan tidak sesuai dengan konten acara, bukan tidak mungkin acara tersebut “salah alamat” dan memberikan efek negatif bagi khalayak yang menontonnya, terlebih untuk anak-anak.
Kehadiran televisi sebagai media edukasi maupun hiburan nampaknya belum sepenuhnya berjalan dengan ideal. Masih banyak konten yang tidak mendidik dalam beberapa tayangan televisi. Masih banyak pula acara yang kurang mendidik namun belum tersentuh  tindak lanjut dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Televisi swasta banyak mendapatkan perhatian khalayak karena aspek hiburan dari televise swasta tersebut. Namun, dalam praktiknya, televisi swasta lebih banyak dikembangkan sebagai what the people want bukan what the people need. Ini pun pada akhirnya berorientasi “pasar”[6].
Suatu program yang dianggap tepat jam tayangnya, sesungguhnya belum sepenuhnya diangap ideal. Boleh jadi sebuah acara sudah memenuhi ketentuan jam tayang, namun tidak dalam konten acaranya. Sebuah acara yang ditayangkan di tengah malam pun belum bisa menjamin acara itu tidak “salah alamat” karena bias jadi anak-anak pun belum tidur ketika program dewasa sedang ditayangkan. Hal tersebut harus diwaspadai pula oleh para pengelola media televisi karena jika tayangan untuk segmen dewasa tanpa di sensor dilihat oleh anak-anak, dapat berakibat negatif pula pada pemikiran anak-anak yang tidak sengaja menontonnya. Oleh sebab itu, sebuah program selayaknya memperhatikan keduanya, baik konten maupun waktu penayangan. Lembaga pemantau media seperti Komisi Penyiaran Indonesia harus tegas dalam membuat peraturan dan tegas dalam menindaklanjuti setiap pelanggarannya. Disamping itu, para orang tua juga harus jeli mengawasi anaknya dalam menonton televise. dengan demikian, efek negatif akibat menonton televise dapat diminimalisir.







DAFTAR PUSTAKA
Chen, Milton. 1996. Anak-Anak dan Televisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Effendy, Heru. 2008. Industry Pertelevisian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Nurudin. 1997. Televisi Agama Baru Masyarakat Modern. Malang: UMM Press.
Sastro, Subroto Darwanto. 1992. Televisi Sebagai Media Pendidikan. Jogjakarta: Duta Wacana University Press
Sebagaimana yang diungkapkan oleh ketua Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Guntarto dalam artikel Tayangan di Wilayah Abu-abu yang dimuat dalam majalah Tempo edisi 14-20 Maret 2005, hal 141.
Summary penelitian oleh Arista Pitriawanti dengan judul : Pengaruh Intensitas Menonton Televisi dan KomunikasiOrang tua – Anak terhadap Kedisiplinan Anak dalam Mentaati Waktu Belajar. 2010. Semarang.


[1] Sebagaimana yang diungkapkan oleh ketua Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Guntarto dalam artikel Tayangan di Wilayah Abu-abu yang dimuat dalam majalah Tempo edisi 14-20 Maret 2005, hal 141.
[2] Neil Postman, seorang penulis Amerika, menulis bahwa jika sudah tidak ada batas antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa, tidak akan ada lagi apa yang dinamakan sebagai dunia kanak-kanak. Ia menekankan bahwa televisi telah memusnahkan dinding pemisah antara dunia kanak-kanak dan dunia orang dewasa.
[3] Dipaparkan dalam media informasi penelitian kesejahteraan sosial, edisi 177 tahun ke 28, Januari-Maret 2004 yang diterbitkan oleh badan pelatihan dan pengembangan sosial, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial,Yogyakarta. Dalam penelitian ditemukan bahwa 63% (63 anak) setuju sampai sangat setuju sehari ratarata menonton televisi dua jam, 37% (37anak) mengatakan kurang setuju dan tidak setuju bila hanya dua jam menonton televisi, karena acaranya bagus dan menarik. Dan penelitian ini juga menunjukkan 78% (78) anak cukup sampai sangat ingin mempraktikkan trik-trik dalam film keras apabila berkelahi dengan temannya, dan 22% (22) anak menyatakan kurang samapai tidak ingin mempraktikkannya apabila berkelahi dengan temannya.
[4] Keduanya adalah peneliti muda dari B2P3KS Yogyakarta yang hasil penelitiannya ini dimuat dalam jurnal penelitian kesejahteraan sosial, Juni 2004. Hasil Penelitian data dari 143 responden yaitu 49,65 % menunjukkan bahwa anak rata-rata menonton televisi antara 3 6jam. Ada 92,34 % menunjukkan bahwa anak-anak kadang-kadang sampai tidak pernah didampingi orang tua waktu menonton. Acara televisi yang paling disukai adalah film keras (action) 36,36 %, film horror 18,18%, film telenovela atau sinetron 13,29%. Terakhir, 55,25% anak-anak menirukan juga tokoh yang ada di televise dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
[5] Heru Effendy (2008), 88-124
[6] Nurudin (1997), televise agama baru masyarakat modern. Hal 89.

SHARE THIS

0 Comments: