Jumat, 15 Juni 2012

The Key


The Key

“Meeeeoooonnggg…”
“Sebentar sayang, bapak lagi ada kerjaan, nanti sore kamu juga bakal makan enak”. Sahutku sambil mengelus kucing yang sudah kuanggap anak sendiri. Kucing kampung yang kuberi nama monki. Aneh bukan, kucing kok diberi nama monyet.
“Tiga buah lima belas ribu” sambil menyerahkan hasil pekerjaanku kepada pelangganku. Ya, aku seorang tukang kunci. Hanya seorang tukang kunci. Banyak asam pahit yang kutelan karena aku menjadi seorang tukang kunci. Karena aku tukang kunci, aku bisa membantu orang-orang kembali membuka pintunya yang terpisah dengan kunci aslinya. Walaupun hanya dengan satu tangan aku mengerjakannya. Karena aku tukang kunci, aku berpisah dengan istri dan anak perempuanku yang katanya tidak tahan menahan rasa malu memiliki seorang suami maupun bapak sepertiku. Cacat dan berkawan dengan kunci yang tidak bisa menentukan pintu masa depan.
Itulah alasan mengapa kini kucing kesayanganku menjadi satu-satunya makhluk hidup yang kumiliki. Orang tuaku bahkan sudah meninggal sejak aku berusia empat tahun. Kecelakaan mobil saat kami hendak pindah kota mengharap rejeki. Hanya aku yang selamat tanpa satu tangan yang terjepit saat penyelamatan.
Sudah dua tiga puh lima tahun berlalu. Sepuluh tahun menyendiri di sebuah panti asuhan dan sisanya tinggal Tuhan yang menentukan.
            Petang menjelang, menjemputku kembali pulang. “Pak Soki, tadi ada yang nyari, ngga tahu siapa. Laki-laki, keliatannya masih muda, pakaiannya juga rapih. Pakai jas. Orang kantoran kayaknya”. Seru tetanggaku yang menginfokan bahwa ada tamu tak diundang yang sedang mencariku. “Wah, saya ngga pernah punya pelanggan pejabat, bu. Mungkin salah alamat, tapi makasih bu buat infonya”. Sahutku sambil terheran-heran. Polisikah?orang yang mau menuntutku kah? Atau memang terkaanku benar. Salah alamat.

***

“Assalamualaikum! Pak Soki. Tolong keluar, pak. Saya butuh bantuan anda!”.
Suara asing berisik itu membangunkan tidurku. “Aaarrrggghh !!! siapa sih itu, pagi-pagi uda ngundang emosi!! lagipula ini kan hari minggu. Saya lagi libur, besok saja datang lagi!!”. “Tolong pak, ini darurat. Saya butuh bantuan anda”. Balas teriakan laki-laki itu.
            Setelah pintu kubuka. Tampang seorang laki-laki yanga letih namun tetap dengan gaya berpakaian mirip dengan yang tetanggaku bilang kemarin. Berpakaian jas. Seperti orang kantoran, namun sudah agak kucel warnanya mungkin karena sudah bersahabat dengan panasnya matahari. “Anda siapa? ada perlu apa datang kemari? Saya lagi libur kerja”.
            “Bapak Sogi, tukang kunci itu kan? Tolong saya pak, saya butuh keahlian anda untuk membukakan sebuah kotak besi. Kotak berharga yang dua hari lalu saya hilangkan kuncinya. Saya tidak akan kembali ke rumah hingga saya bisa menemukan pengganti kunci itu. Saya dengar bapak ahli kunci di daerah sini. Mangkannya saya kesini”.
Setelah tak tega dengan kondisi pemuda ini, akhirnya aku mempersilahkan masuk ke dalam rumahku.”Coba ceritakan dengan pelan-pelan apa yang terjadi dan saya hanya tukang kunci, bukan ahli. Ya, Tuhan. Sudah berapa lama kamu tidak makan?.” Tanyaku sambil melhat badannya yang kurus kering berselimut jas yang rapih.
“Semenjak saya tinggalkan rumah, belum menelan sesuap nasi atau makanan apapun. Minum pun hanya satu botol yang tersisa di dalam mobil.” Dia pun mendekat ke arahku sambil berbisik. “Saya memiliki bisnis yang saya yakin itu akan menjadi bisnis besar. Bisnis yang bisa mengantar saya menuju orang terkaya dalam waktu lima tahun mungkin. Namun, sebulan yang lalu, bisnis saya mengalami kerugian besar, Saya bangkrut total, Banyak penyakit yang mulai menggerogoti badan saya. Yang paling parah kanker paru-paru. Tidak ada uang lagi untuk berobat, hanya kotak itu yang bisa menolong saya. Untung saja saya bisa terlepas dari kejaran orang-orang yang menagih hutang saya. Saya kini hanya tinggal seorang diri. Jika saya meninggal dan kotak itu sudah terbuka, semua harta milik saya akan saya berikan ke bapak. Saya benar-benar butuh bantuan anda, pak.”
“Apa-apaan ini. Setelah sudah mulai terbiasa dengan sakit hati sepeninggal istri dan anak. Kini, aku berurusan dengan utang piutang?”. Tanyaku dalam hati. “Bisnis apa anda hingga dikejar-kejar orang? Narkoba, hah?.” Sambungku.
“Saya hanya bisnis tekstil yang beruntung. Omset saya lima pulu juta per tahun. Banyak saingan yang ingin menjatuhkan saya dan sekarang benar-benar terjadi. Kalau Bapak baca Koran dua hari lalu tentang kebakaran pabrik tekstil, itulah pabrik saya. Kotak besi itu diberikan ibu saya sesaat sebelum dia meninggal. Hanya kotak besi dan rumah kedua kami yang kecil, Tidak ada warisan apa-apa lagi. Baju yang kini saya kenakan juga satu-satunya baju paling bagus yang saya punya sekarang. Di kotak itu tertulis: “BUKA DISAAT KEADAAN MENDESAK.” Kotak itu kini ada di bagasi mobil saya. Berhari-hari saya mencari tukang kunci, namun tidak ada yang mengerti cara membukanya. Mereka bilang bapak lah mungkin orang satu-satunya yang bisa menolong saya”. Pria itu menjelaskan sambil terbatuk-batuk. Parah keliatannya.
Aku memang bukan hanya bisa membuat kunci, tapi aku juga bisa membukakan pintu atau apapun yang terkunci dengan rapat. Tapi untuk sebuah kotak besi bahkan itu misterius?belum pernah aku membayangkannya.
Setelah memberinya makanan seadanya dan minum yang cukup, aku mengajaknya untuk melihat seperti apa benda besi yang tertutup rapat itu. Sepuluh menit kemudian kami sampai di mobilnya. Dan dia segera mengambil kotak besi itu lalu menyerahkannya kepadaku. Rumit memang karena bentuk lubang kuncinya unik. Dengan alat seadanya yang kubawa tadi dari rumah, sekuat tenaga akan kubuka kotak itu. Tetap hanya dengan satu tangan.
Hampir setengah jam ku berkelahi dengan kotak besi yang menguras tenaga itu. Dihancurkan pun tidak bisa. Saat aku frustasi dengan kerjaanku, aku melirik kunci yang terikat dengan leherku. Kunci yang dulu pernah aku buat dengan iseng. Berebentuk L, dan dengan gabungan kunci lainnya sebagai penambah gerigi. Kesempatan terakhirku dan….akhirnya TERBUKA!!!.
Wajahku yang berkeringat dan pemuda yang matanya berair itu pun mengiringi pesta perayaan dengan terbukanya kotak besi itu. Segera ku lihat apa yang tersimpan di dalam kotak misterius itu. Kaget. Mungkin sedikit bercampur dengan heran dan kesal. Setelah setengah jam lebih aku mati-matian membukanya. Hasilnya hanya sebuah kunci lagi?dan secarik kertas bertuliskan: “JIKA KAU MEMBUKA KOTAK INI, BERARTI AKU SUDAH MATI DAN KAU PUN HAMPIR MATI. AMBIL KUNCINYA DAN SEGERA BUKA PINTU RUANGAN YANG ADA DI BAWAH RUMAH”.
Kami berdua saling bertatapan dengan wajah melas dan terheran-heran. Apa sebenarnya maksud semua ini.
“Saya ingat. Dulu ibuku pernah mengatakan bahwa di bawah rumah kedua kami yang kecil itu, ada sebuah tempat yang bisa mewujudkan segala impian. Entah apapun itu saya belum pernah mendatanginya, pak”. Entah kenapa wajah yang semula kulihat lemah dan seperti orang kurang gizi tadi tiba-tiba berubah 180 derajat menjadi penuh antusias.
“Tidak ada jalan lain selain…kau tahu maksudku”. Sahutku yang ikut terbawa suasana antusiasnya.
Sejam berlalu dan kami sudah menapakkan kaki di depan rumah pemuda itu. Pemuda yang lupa kutanyakan siapa namanya.
“Sudah hampir setengah hari kita bertemu dan seperti detektif yang memecahkan kasus. Tapi aku lupa menanyakan namamu, nak.”
“Kenny, pak. Panggil saja saya Kenny. Maaf juga sebelumnya sudah banyak merepotkan bapak. Walaupun nanti saya mati atau tidak, janji saya tetap saya tepati, pak.”
“Saya bukan orang yang buta harta Kenny. Memang sudah pekerjaan saya untuk mambantu membukakan pintu atau apapun yang terkunci. Walau kondisi saya yang sebelah tangan dan tua ini, saya senang bisa membantu anda.” Ucapku dengan nada bijaksana. Aku memang tidak buta akan harta, tapi jujur saja, ini pengalaman pertama yang mungkin memoriku akan terus mengingatnya. Ditengah kondisi yang tua dan sebatang kara ini, masih ada yang butuh pertolonganku. Terima kasih, Tuhan.
            Segera kami berdua menuju ruangan yang tertulis di dalam kotak besi itu. Ruangannya berada di dalam banker yang tertutup rapat bertahun-tahun. Setelah menghancurkan gembok karatan yang meguncinya, kami berdua turun ke dalamnya. Gelap memang. Lorong menuju ruangannya hanya muat untuk dua orang. Seperti bekas tambang, berdinding lembab, tapi entah tambang apa itu. Untung saja ada obor yang tertempel di dinding lorong.  Jarak antara pintu banker kami masuk tadi dengan ruangan yang dituju berjarak dua puluh meter.
            “Kenny, kuncinya”. Pintaku sambil menyulurkan tangan. Dalam waktu lima detik, pintu itupun terbuka. Lagi-lagi kami kaget dibuatnya. Bukan karena kunci dan secarik kertas lagi yang kami temukan, melainkan emas. Ya, EMAS!!!
Ruangan itu hanya berukuran 3x3 meter. Tapi yang membuat kami takjub adalah emasnya yang memenuhi ruangan itu. Terdiri dari sepuluh tumpukan yang masing-masing tumpukan dihiasi emas setinggi tiga meter. Langsung saja tubuhku kaku tak menyangka apa yang sedang terjadi.
            Kenny langsung menghampiriku dengen mata berkaca-kaca tanda bahagia. “Terima kasih, pak. Sudah banyak membantu saya. Ini kartu nama saya. Tiga minggu lagi saya akan memberi kabar ke bapak”.
***
Tiga minggu setelah kejadian mengesankan itu, benar nyatanya apa yang Kenny katakan. Seseorang datang ke rumahku. Pria berjas rapih (lagi) dan berkacamata. Tampak seperti orang berpendidikan tinggi. Seorang pengacara rupanya.
“Pak Soki? Saya Albert. Pengacara dari Pak Kenny. Ada kabar bahagia sekaligus sedih yang diberikan Kenny untuk Bapak. Langsung saja bapak sendiri yang membacanya”. Ucap orang itu sambil menyerahkan sepucuk surat kepadaku.
Dengan tangan yang agak gemetar, lantas aku membacanya.
“Untuk sahabat singkatku, pak Soki. Terima kasih Bapak sudah memecahkan masalah saya tiga minggu yang lalu. Ibu saya pasti ikut bahagia dengan Bapak. Tapi maaf, saya tidak bisa bertemu dengan Bapak karena jika Bapak membaca surat ini, berarti nyawa saya sudah menyatakan bendera putih kepada penyakit kanker paru-paru saya. Setelah kita berpisah, hanya sebagian dari emas-emas itu yang saya gunakan untuk berobat. Tenang, pak Soki. Emas itu kini aman di tempat dia berasal sebelumnya. Surat wasiat ini saya tulis untuk menyerahkan semua emas milik saya untuk Bapak. Saya berharap ke depannya, bapak bukan hanya sebagai tukang kunci yang membuat kunci cadangan, melainkan juga sebagai orang yang membuka pintu bagi orang lain menuju ke arah yang lebih baik dengan semua emas-emas itu. Sekali lagi terima kasih, pak. Anda orang yang baik”.
            Air mata tak terasa mengalir membasahi wajahku yang tua dan lugu ini. Sedih mengetahui orang yang memang singkat, namun terasa sangat dekat sekali meninggalkan dunia ini. Sahabat tersingkatku. Bukan dia yang seharusnya berterima kasih, melainkan aku. Aku yang berterima kasih untuk semua hal yang menjauhkanku dari gelapnya sendiri. Satu hal tambahan yang bisa kupetik adalah karena aku tukang kunci, aku bisa menuntun orang lain membuka impiannya, bukan hanya sebuah pintu, kotak, ataupun benda terkunci lainnya, melainkan impian. Ya, impian. Impianku juga.



SHARE THIS

0 Comments: