Senin, 06 April 2009

Butuh Aturan Ketat untuk Penyederhanaan Parpol

Oleh : Nur Heni Widyastuti

Betapa ribet-nya proses pencontrengan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 9 April 2009 esok. Dengan bilik pemilihan berukuran rata-rata hanya 60 x 40 cm, sedangkan ukuran kertas suara 84 x 63 cm, pemilih dituntut untuk memilih 1 nama diantara ratusan nama-nama calon anggota legislatif (caleg) di dalamnya. Jumlah partai politik (parpol) peserta pemilu yang lebih banyak dari pemilu sebelumnya menyebabkan pelebaran ukuran kertas suara tersebut. Apalagi jika calon anggota legislatif yang diusulkan tiap partai juga bertambah banyak di tiap daerah, semakin lebar pula unkuran kertas suaranya.
Perjalanan pemilihan langsung baik di tingkat kebupaten, provinsi, presiden, bahkan sampai anggota parlemen, memang menandakan kemajuan dan keterbukaan dalam demokrasi di Indonesia. Pemilihan caleg secara langsung memang dinilai lebih baik daripada hanya memilih partai. Bisa diibaratkan sudah tidak memilih kucing dalam karung lagi.
Namun, selain memiliki nilai positif, ada juga hal-hal yang menjadi permasalahan antara lain :
Biaya membengkak. Baik biaya penyelenggaraan pemilu (penyediaan logistik, sosialisasi, dll) atau biaya yang dikeluarkan tiap partai atau tiap caleg untuk kampanye dan sosialisasi.
Kampanye kurang efektif. Semakin banyak partai, maka jadwal kampanye semakin padat. Dengan banjirnya informasi kampanye, maka lambat laun kampanye hanya menjadi angin lalu, karena masyarakat terlalu jengah dijejali janji-janji dan iklan-iklan tiap partai, bahkan tiap caleg.
Persaingan yang ketat. Persaingan ini tidak hanya terjadi antar partai, tetapi juga persaingan antar caleg di internal partai.
Perhitungan harus akurat. Karena pemilihan kali ini yang dihitung adalah tiap individu maka perhitungan harus akurat. Untuk cara penentuan suara sah atau tidak sah juga harus diperhatikan secara seksama. Atau kalau tidak akan menimbulkan konflik.
Rawan konflik. Tak dapat dihindari lagi jika setiap pemilihan akan menimbulkan konflik. Ketika jumlah peserta pemilu semakin besar, maka kecenderungan rawan konflik juga akan semakin besar.
Wacana penyerderhanaan partai politik (parpol) menjadi salah satu materi penting dalam proses pembahasan RUU Pemilu Legislatif. Secara teoritis, dalam sistem presidensial yang dianut di Indonesia lebih cocok dengan sistim partai yang sederhana. Sedangkan sistem multipartai yang digunakan saat ini, hanya cocok bila diterapkan dalam sistem parlementer.
Seperti yang sudah ditetapkan oleh KPU, pemilu 2009 ini diikuti 34 parpol. Jumlah ini lebih banyak dari pemilu 2004 yang diikuti 24 parpol. Namun lebih sedikit jika dibandingkan dengan pemilu 1999 yang diikuti 48 parpol. Berkaca dari dua pemilu sebelumnya, sebagian menyebutkan bahwa idealnya jumlah partai politik peserta pemilu 2009 adalah 12 atau 13 parpol melalui perhitungan dengan pendekatan kualitatif, atau 8 sampai 9 parpol melalui perhitungan kuantitatif. (lebih lengkapnya baca indonesianmuslim.com). Dengan adanya pembengkakan jumlah partai peserta pemilu, makanaya aturan ketat untuk pendaftaran partai pemilu perlu diberlakukan secara konsisten.

Pemberlakuan ET atau PT dan Perketat Pendirian Partai Baru
Secara teoritis, dalam sistem presidensial yang dianut di Indonesia lebih cocok dengan sistim partai yang sederhana. Sedangkan sistem multipartai yang digunakan saat ini, hanya cocok bila diterapkan dalam sistem parlementer. 
Konsep penyerderhanaan parpol masih menggunakan konsep Electoral Threshold (ET). ET adalah ambang batas perolehan kursi suatu parpol agar dapat mengikuti Pemilu berikutnya. Dalam pasal 9 ayat (1) UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu, mengatur untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya parpol peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya tiga persen jumlah kursi di DPR, empat persen jumlah kursi di DPRD Provinsi yang tersebar di setengah provinsi di Indonesia, dan empat persen jumlah kursi di Kabupaten yang tersebar di setengah Kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Sedangkan Parliamentary Threshold (PT) adalah ketentuan batas minimal yang harus dipenuhi partai politik (parpol) untuk bisa menempatkan calon legislatifnya di parlemen. Batas minimal yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU Pemilu Legislatif adalah sebesar 2,5 persen dari total jumlah suara dalam pemilu. Dengan ketentuan ini, parpol yang tak beroleh suara minimal 2,5 persen tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Sehingga suara yang telah diperoleh oleh parpol tersebut dianggap hangus.
Melalui PT sebuah partai tidak perlu membubarkan atau menggabungkan diri bila ingin ikut dalam pemilu berikutnya. PT dinilai lebih efektif menjaring parpol yang serius memperjuangkan aspirasi masyarakat. Karena selama ini banyak elite politik mendirikan parpol hanya untuk merebut posisi politik.
Selain menggunakan PE dan PT, untuk membatasi jumlah peserta yang ikut dalam pemilu ke depannya adalah dengan memperketat aturan pembentukan partai. Misalnya dengan memperbesar jumlah syarat anggota pembentukan parpol di tiap daerah. Jika memungkinkan malah bisa jadi, pemilu mendatang hanya partai yang lolos PE dan PT yang diperbolehkan ikut pemilu mendatang. Hal ini bukan membatasi hak berkumpul dan berbicara, tetapi agar lebih mengefektifkan pemilu di Indonesia.


SHARE THIS

0 Comments: